Erina sudah membagi-bagi tugas dan juga sudah memberi perintah. Sesuai perjanjian di awal pertemuan, kami harus menuruti perintah Erina.
Menuruti perintah Erina adalah pilihan terbaik, ia memiliki jiwa kepemimpinan yang hebat.
Menuruti perintah Erina juga membuat kami tahu dan mengerti apa yang akan kami perbuat selanjutnya.
Menuruti perintah Erina juga menjadi pilihan yang sangat logis dan rasional, selain alasan-alasan tadi, Erina juga tampak menjanjikan, ia berhasil merekrutku, Aldi dan Fandi lewat Shina di bawah instruksi Erina.
Taktik Erina berhasil dan kami bertiga bergabung, seolah ia sudah berpikir ratusan atau bahkan ribuan langkah ke depan.
Dengan fakta-fakta itu, Erina menjadi pemimpin yang ideal. Ramah, baik, mendengarkan pendapat, suka menanyakan pendapat kepada yang lain, berpikir sebelum berjalan, dan berpikir ribuan langkah ke depan sebagai bekalnya, juga jiwa kepemimpinan yang tinggi. Itu semua adalah kombinasi yang sempurna.
Erina sudah membagi tugas. Dika, Shina dan Erina menjadi tim menulis dan tim mencatat hasil riset.
Lalu di tim berikutnya ada, Dika, Aldi, Fandi dan Erina. Mereka menjadi tim mencari informasi dari luar, dan dari sumber apa pun selagi sumber itu terpercaya.
Lalu karena Shina juga meminta beberapa tugas, maka Erina membentuk tim baru, yaitu tim wawancara.
Dika, Aldi dan Fandi juga menawarkan diri untuk membentuk tim baru, yaitu tim untuk mencari narasumber untuk tim wawancara.
Fandi juga bersedia menjadi pemegang kamera ketika wawancara sedang berlangsung.
Erina menetapkan untuk melakukan riset selama tiga hari, dan setiap harinya, riset berlangsung selama dua sampai tiga jam.
Tiga hari riset itu juga mencakupi riset mencari informasi dari sumber luar seperti internet, dan buku dari perpustakaan.
Setelah tiga hari lamanya melakukan riset dari sumber luar, di hari keempat kami mendatangi ayah Aldi untuk memilah informasi mana yang asli dan palsu.
Lalu di hari yang sama, Dika dan Fandi mencari narasumber untuk wawancara.
Lalu sisa harinya dipakai untuk merangkum, menulis, memotret, mengedit lalu merevisi jika ada kesalahan juga menambah jika ada yang ingin ditambah dari hasil riset yang cukup memakan tenaga dan waktu, juga pemikiran tentunya.
Dika menggunakan koneksi kedua orang tuanya untuk mencari narasumber yang terpercaya. Itulah semua rencana yang telah kami ekspektasikan.
Semua ini soal terpercaya atau tidaknya.
“Hari ini hari Senin, sepeti kataku tadi, kita melakukan riset selama tiga hari, dari hari ini sampai hari Rabu” perintah Erina.
Kami semua mengangguk tanda setuju.
“Baik kalian membawa ponsel?” tanyaku.
Hanya Shina yang bawa, sisanya menggeleng.
“Pulang sebentar lalu ambil ponsel kalian, termasuk juga aku” perintah Erina.
“Tunggu, jalan kaki bulak-balik? Aku tidak mau” kata Fandi.
“Pakai mobil miniku” kata Shina menawarkan.
“Aku tidak bisa mengendarainya” kata Fandi.
“Begitu juga aku” kata Aldi.
“Erina yang membawanya, ia sudah mahir” kata Shina sambil tersenyum.
Aku melirik ke Shina.
“Baik” kata Aldi.
“Jika ada sesuatu yang terjadi itu berarti tanggung jawab Erina!” kata Fandi meledek sambil tersenyum yang akhirnya senyum itu hilang perlahan karena efek dari respons Erina yang melotot.
“Baik kami pergi dulu” kata Erina.
Aku dan Shina mengangguk. Aku sempat memperhatikan wajah Shina, ia mengangguk sambil tersenyum. Tampaknya Shina sering sekali tersenyum.
Mereka bertiga akhirnya berjalan keluar kamar koleksiku. Urutan berjalan mereka kira-kira begini: Di depan, dengan pengalaman dan kemampuan menyetir mobil mini, Erina di posisi memimpin.
Di belakang bagian samping kirinya ada Fandi yang berusaha meminta-minta maaf karena sebelumnya lelucon yang ia buat diberi tanggapan yang kejam. Atau mungkin bagi Erina, lelucon Fandi yang kejam.
Di belakang ada Aldi menyusul.
“Ada apa?” tanya Shina kepadaku, persis setelah Erina, Fandi dan Aldi keluar.
“Apanya yang ada apa?” tanyaku kebingungan.
“Sejauh mereka pergi, kamu selalu memerhatikan wajahku” jelas Shina langsung menuju pokok pembahasan.
“Eh...” aku bengong kehabisan gaya, aku memang memerhatikan wajahnya, itu karena aku penasaran kenapa Shina selalu tersenyum, namun siapa sangka, ia justru menyadari aku memerhatikannya, tapi aku tidak menyadari bahwa ia menyadarinya.
“Ada apa?” tanya Shina.
“Tidak” kataku patah-patah.
Shina mendekati diriku, aku kaget.