Jurnal Perjalanan Siswa

Alif Rizaldy Azra
Chapter #8

Chapter 8

Setelah selesai dengan masalah di perpustakaan, kami langsung menuju rumah Fandi. Saat ini kami dalam perjalanan menuju rumah Fandi

“Setelah mengonfirmasi informasi dan faktanya, kita langsung ke rumah Aldi dan langsung ke rumah Shina, dan kembali pada abad ke-17” kata Erina menjelaskan.

“Ya intinya ini sama seperti rencana awal kan?” kata Fandi.

“Ya” jawab Erina singkat.

“Kenapa tidak ke rumahku terlebih dulu saja? Jarak ke rumah ku lebih dekat, terlebih lagi, arah ke rumah ku itu satu arah dengan arah untuk ke rumah Fandi” kata Aldi.

“Baik” kata Shina langsung mengerti.

“Ambil pakaian adat suku Dayak terlebih dahulu” kata Aldi.

Kami lenggang beberapa menit, Erina mencatat sesuatu pada catatan kecil dengan ukuran yang bahkan lebih kecil dari saku kemeja jika di bandingkan. Terlihat sepertinya Erina sangat serius, sepertinya ia sedang menyusun banyak plan rencana jika rencana awal tidak berjalan mulus, aku khawatir dia terlalu banyak menulis rencana, akan sulit mengingat nama-nama dan langkah-langkah dari rencana itu.

“Stop” Aldi membuka suara, ia menyuruh Shina memberhentikan mobil ini.

“Masuk ke dalam kompleks yang berada tepat di kiri mobil ini” kata Aldi memberi instruksi.

“Santai saja, kamu sudah memberi lokasi rumah mu lewat ponsel kepada mobil canggih ini, jadi tanpa diberitahu siapa pun, dia akan tetap mengerti” kata Erina.

“Ya, betul kata Erina” Fandi meledek Aldi.

“Berisik, kamu juga pasti mau memberhentikan laju mobil ini kan? Di antara kita berlima, hanya kamu yang terlihat paling tidak tahu apa-apa tentang mobil ini” kata Aldi sewot.

“Apa maksud mu hah?” Fandi membalas dengan sewot yang sama besarnya.

Mereka saling beradu sewot, seolah kekuatan mereka ada pada kesewotan mereka, semakin mereka sewot, semakin mereka kuat, sama seperti serial anime-anime pada biasanya. Lalu di saat-saat seperti inilah, peranku dibutuhkan.

“Eh, aku kira, aku yang paling tidak tahu tentang mesin robot ini?” kataku.

Aldi dan Fandi diam sebentar, menatapku, dan tertawa lepas, menertawaiku. Lalu mereka keluar mobil, menuju rumah Aldi seolah tadi tidaj terjadi apa-apa.

“Serius?” tanya Erina.

“Apanya?” tanyaku.

“Serius kamu tidak mengetahui apa-apa tentang mobil ini?” tanya Erina lebih jelas.

“Tidak, Cuma berbohong saja, biar mereka tidak adu mulut lagi, agak susah menjalankan tugas ini jika mereka berdua terpecah belah” aku berusaha menjelaskan.

“Oh” kata Erina.

“Kamu agak berkorban ya?” kata Shina.

“Ya” kataku.

“Apa kita tidak perlu turun?” tanya Erina.

“Ku rasa tidak perlu, mereka bisa mengatasinya sendiri, hanya perlu mengangkat lima pakaian saja” kataku.

Belum selesai aku berbicara, mereka sudah datang, membawa paksisn adat Dayak.

“Tunggu kenapa hanya ada atasannya saja?” tanya Erina.

“Coba pakai dan bersiaplah kaget karena bagian bawahannya akan terpakai secara tiba-tiba” kata Aldi.

“Se simpel itu, bagus lah kalau begitu” kataku.

“Tancap gas dan langsung saja menuju rumah Fandi” kata Erina.

Beberapa saat kemudian kami sudah sampai di rumah Fandi.

“Baiklah, ayo turun” kata Fandi.

“Tanpa perlu diberitahu, kami pun akan turun” kata Erina.

“Untuk detailnya, aku sudah memberitahu ayahku, jadi kalian tidak perlu repot-repot menjelaskan mengapa kita butuh ini” kata Fandi menjelaskan sembari jalan menuju gerbang rumahnya.

Kami berlima sudah masuk ke rumah Fandi, tak terduga, ternyata ayah Fandi sudah menunggu di ruang tamunya.

“Tanyakanlah, bersikap santai saja, ayahku bukan orang yang jahat, dia juga tidak galak” kata Fandi, “Oh iya, anggap rumah sendiri” lanjut Fandi.

Terlihat seorang pria berusia sekitar tiga puluh sampai empat puluh tahunan, dengan wajah penuh wibawa dan badan yang tidak terlalu gemuk, namun tidak terlalu kurus juga, dengan sedikit uban di rambut bagian sisi bawahnya.

Awalnya kami agak malu-malu, ditambah wajah ayah Fandi terlihat cukup berwibawa, berbeda dengan anaknya yang kadang usil, suka mengganggu Erina saat sedang serius, lalu diam setelah diplototi oleh Erina.

Kami duduk di depannya, di sofa panjang, Fandi duduk di kursi sendiri, begitu juga dengan Aldi.

Kami bisa mengajukan delapan fakta yang telah kami dapatkan.

Menyadari bahwa kami terlalu malu untuk membuka suara, akhirnya ayah Fandi pun membuka suara.

“Tidak apa, kalian tidak perlu malu-malu, saya tidak semenyeramkan seperti yang kalian kira” kata Ayah Fandi berusaha mengingatkan bahwa ia juga seorang Manusia.

Lihat selengkapnya