Jurnal Perjalanan Siswa

Alif Rizaldy Azra
Chapter #9

Chapter 9

“Jika seseorang bertanya, di mana ini? Maka aku tidak tahu bagaimana cara menjawabnya karena aku sendiri pun tidak tahu di mana ini” kata Erina.

“Hutan”? kataku singkat.

“Bisa jadi” kata Shina.

“Jadi seperti ini hutan pada abad ke-17” kata Aldi.

“Ya, pohonnya besar dan akar-akarnya juga sama besarnya, mungkin lebar akarnya bisa mencapai dua kali lebar tanganku” kata Fandi sambil mengambil beberapa gambar dengan kacamatanya itu, dia hanya perlu mengedipkan mata kanannya saja dan gambar langsung terambil, diproses dan tersimpan.

“Apakah alamatnya benar?” tanyaku.

“Ya” jawab Shina.

Disaat kami masih bertanya-tanya di mana lokasi kami saat ini, Fandi tetap terkagum-kagum, mengambil banyak sekali gambar. Dan Erina maju sendirian.

“Hai, cepat kemari” kata Erina.

Kami yang sibuk dengan pertanyaan-pertanyaan tadi langsung datang menghampiri Erina.

“Itu” kata Erina sambil menunjuk rumah adat suku Dayak.

“Ada salah satu rumah, mungkin saja di dekat sini ada desa” aku mengatakan hipotesisku.

“Kemungkinan besar juga begitu” kata Erina.

“Jadi bagaimana? Apakah kita akan datang dan bertanya?” tanyaku.

“Jika kalian ingin bertanya, biarkan aku menjelaskan satu hal yang lupa aku jelaskan, aktifkan salah satu fitur yang ada pada baju canggih ini, aktifkan dengan sidik jari kalian, tempat mengaktifkannya ada di dekat kerah” kata Aldi.

Kami mendengarkan Aldi dengan baik sambil melakukan instruksi dari Aldi.

“Lalu dengan begitu, kalian bisa mendengar bahasa Dayak, menjadi bahasa Indonesia, simpelnya ini adalah fitur penerjemah canggih, bisa menerjemahkan langsung ke otak kalian dan jika kalian mencoba untuk berbicara dengan bahasa Indonesia kepada orang suku Dayak, maka kata-kata atau bahkan kalimat panjang yang kalian keluarkan akan langsung diterjemah menjadi bahasa Dayak” kata Aldi.

“Ceroboh, kenapa tidak sedari tadi saja penjelasannya? Kita hampir gagal” kata Fandi sewot.

“Ya, maafkan aku” kata Aldi, “Lagi pula aku lupa dan kalian pasti tidak menyadari akan hal ini, bukan?” lanjut Aldi sambil bertanya.

“Iya juga sih” kata Fandi pelan.

“Baiklah ayo maju” kata Aldi.

Aldi dan Fandi maju lebih dulu, sementara Shina menunggu Erina jalan terlebih dahulu, namun Erina malah jalan ke arahku.

“Jangan sampai kelompok ini terpecah belah karena Aldi dan Fandi, tetap ada pada peranmu dan lakukan sebaik mungkin untuk mencegah hal mengerikan itu terjadi, mengingat mereka bahkan mempermasalahkan hal yang tidak perlu sepanjang perjalanan kita kesini” kata Erina mengingatkan.

“Aku juga akan berusaha untuk ikut membantu” kata Shina sambil tersenyum.

“Terima kasih, akan sangat sulit jadinya jika melakukannya seorang diri, bagi mereka, kekuatan mereka berasal dari kesewotan mereka” kataku sambil bercanda dan tersenyum yang kemudian dibalas senyum juga oleh Shina.

“Aku hargai itu Shina, sekarang ayo jalan mendekati mereka, jangan sampai mereka mempermasalahkan kecepatan laju jalan kita” kata Erina mengingatkan dengan tegas.

Nada Erina saat mengingatkan sangat hebat, nada yang sama seperti yang dikeluarkan saat di rumah Fandi ketika sedang bertemu dengan ayah Fandi. Membuat kami menjadi sangat patuh bahkan kepada tatapannya.

“Langsung menuju rumah itu?” tanya Shina.

“ya” kata Fandi.

“Memangnya kenapa?” tanyaku.

“Aku tahu apa yang kamu pikirkan, Shina” kata Erina, “Kamu pasti berpikir bagaimana caranya suku Dayak bertamu, bukan?” lanjut Erina.

“Ya, aku memang memikirkan itu” kata Shina.

“Ada benarnya juga, jika kita tidak tahu bagaimana cara suku Dayak bertamu, aku takut ini akan mengacaukan segalanya ke depan” kataku mengatakan kekhawatiranku.

“Jadi bagaimana” tanya Fandi.

“Ya begitu” kata Aldi dengan nada bercanda.

“Ini bukan saatnya bercanda, Aldi” kata Fandi yang tumben sekali tidak sewot lagi, jiwanya sebagai penyuka petualang mungkin sudah keluar.

“Ya memang bukan” kata Aldi sekali lagi.

“Aku hanya ingin memperkenalkan sesuatu, tadinya tidak ingin kupakai karena memang masih dalam tahap pengembangan” kata Aldi.

“Kamu ingat kan, beberapa bulan yang lalu kita sempat membuat kamera kecil yang bisa terbang?” tanya Aldi sambil menatap Fandi.

“Tunggu, jangan-jangan..” kata Fandi terpotong.

“Ya, benar aku memang membawanya untuk jaga-jaga, tapi ini masih dalam tahap pengembangan” kata Aldi.

“Tidak apa-apa” kata Fandi berusaha meyakinkan.

“Awalnya aku ingin memberi ini padamu, tapi karena masih dalam pengembangan jadi aku tidak akan memberi ini padamu” kata Aldi khawatir jika Fandi yang memegang alat ini.

Kami menatap benda yang dimaksud, ada sekitar tiga kamera kecil, mungkin seukuran dengan jari kelingking kaki seorang anak berusia belasan tahun, dari pada kamera, ini terlihat hanya seperti logam hitam, dengan bentuk yang aneh saja.

Panjangnya seperti yang sudah ku terangkan, sepanjang jari kelingking anak-anak berusia belasan tahun, di tengahnya berbentuk bulat, di sisi kanannya berbentuk seperti segitiga yang panjang dengan ujung yang tumpul, di sisi kirinya terlihat hanya seperti kawat memanjang.

“Aku memiliki peran untuk mengambil gambar dan video apa pun objeknya, ayolah” kata Fandi berusaha mengingatkan akan perannya dalam tim ini.

“Tidak” kata Aldi tetap bersikeras.

Lihat selengkapnya