Kami akhirnya memasuki hutan itu dengan berbekal satu alat pisau dan pedang saja, kami juga berserah kepada beruang ini sebagai satu-satunya perlindungan langsung di antara kami semua.
Kami memasuki hutan itu, sudah sekitar dua menit sejak kami memasuki area hutan, aku terus memegang pedang praktis itu untuk sekadar jaga-jaga saja.
Ternyata tidak hanya aku yang berjaga-jaga ekstra, kami semua juga sama saja, semua muka yang kulihat panik, Shina terlihat panik, sementara muka Erina sangat serius, memandang kanan dan kiri bahkan atas, untuk memastikan tidak ada yang menikam kami dari samping ataupun atas.
Fandi terlihat sedang bermain-main dengan pedang praktis ini, dia terkadang memperpanjang pedangnya, lalu memperpendeknya lagi, dan terus seperti itu melakukan gerakan yang sama, terkadang ia melakukannya sambil mengayunkan pedangnya santai.
Aldi terlihat waspada, ia melihat ke atas untuk memastikan kamera pengintai yang dipasang oleh Fandi berjalan semestinya, lalu menoleh dan melirik ke pohon, walau di sana tidak ada apa-apa.
Sepertinya Aldi juga memastikan keadaan untuk terus aman karena khawatir kamera pengintai yang dipegang Fandi rusak dan tidak menangkap sensor keberadaan hewan buas.
Paman Rais juga sama, ia terlihat panik, sepertinya ia juga memikirkan keselamatan kami, jika benar begitu, maka ia adalah orang yang paling sibuk, menuntun jalan, membagi konsentrasi kepada beruang canggihnya. Walaupun ia terlihat panik, ia tidak memegang pedang canggih seperti kita.
Dua menit lagi berlalu sejak pertama kali aku melihat wajah rekan-rekanku, jika dijumlah berapa kali aku melakukan hal yang sama dalam dua menit terakhir, mungkin hasilnya sudah puluhan kali, aku memikirkan banyak cara, untuk membuka omongan santai yang sesuai dengan ekspresi wajah mereka namun aku tidak bisa melakukannya, entah kenapa rasanya seperti tidak ada topik yang pas untuk dibicarakan di saat-saat seperti ini.
Tidak sadar akan hal itu, aku tersandung oleh akar kayu yang memanjang melewati permukaan tanah, aku terjatuh, wajahku adalah bagian tubuhku yang pertama kali menyentuh permukaan tanah, buk, sakit rasanya.
Melihat hal itu, aku sadar bahwa ada berbagai respons masing-masing dari mereka yang tentunya berbeda. Di antaranya ada:
“Astaga ada-ada saja” satu kalimat yang agak tajam dari Erina.
Fandi tertawa terbahak-bahak.
Untungnya Aldi masih waras, ia mengatakan, “Jangan begitu” kepada Fandi, “Dia kan memang dari dulu seperti itu” lanjut Aldi.
Aku yang tadinya menaruh respek kepadanya langsung buru-buru menarik rasa respek itu.
Hanya Shina yang menolongku, dia memang baik, dan satu-satunya orang yang memiliki simpati kepada siapa saja yang ia kenal.
Fandi malah makin tertawa, entah apa maksud kenapa ia tertawa atau kenapa tawanya makin kencang.
“Kamu ini aneh, kamu laki-laki teraneh yang aku temui” kaya Fandi disela-sela ketawanya.