Jurnal Perjalanan Siswa

Alif Rizaldy Azra
Chapter #16

Chapter 16

  Kami mengambil tempat yang tidak terlalu strategis, agak sedikit jauh dari orang-orang agar ketika kita sewaktu-waktu ingin membicarakan atau membahas tentang kemajuan ataupun berbagai hal tentang misi kami kali ini, kami bisa membahasnya dengan tentang tanpa takut ada yang mendengar.

  “Apakah tempat ini benar-benar aman?” tanya Aldi khawatir.

  Di saat Aldi khawatir, Fandi malah asyik merekam dengan kacamata canggihnya itu, ia merekam penduduk yang sedang bersiap-siap dan merapikan ini itu untuk upacara Tiwah.

  “Tenang saja, ingat kata Djata, jika kita tenang dan melihat pola penduduk, kita bisa melakukan apa pun itu” kata Shina menenangkan.

  “Ya, kita lihat saja dengan tenang apakah akan ada banyak penduduk yang akan lalu lalang melewati tempat kita ini, jika iya, maka kita harus mengganti tempat kita” kataku yang juga ikut menenangkan Aldi.

  “Lalu apakah kita sudah menentukan lokasi ke dua jika apa yang aku khawatirkan benar-benar terjadi?” kata Fandi sambil memegang perutnya, ia membungkuk sedikit, wajahnya menunjukkan wajah tidak nyaman.

  “Itulah kenapa Erina dan paman Rais sedang sibuk memperhatikan, merekalah yang akan mencari lokasi kedua itu” kata Shina.

  “Omong-omong, kamu ini kenapa?” tanyaku.

  “Panik. Hal wajar” kata Aldi.

  “Tenang saja sesuai dengan instruksi awal” kata Fandi akhirnya ikut berbicara dan menenangkan Aldi.

  Aldi tidak meresponsnya, ia sedang berusaha keras untuk berdiri tegak dan menyembunyikan wajahnya. Namun sayang, ia bukan Fandi yang ahli dalam hal itu.

  “Hanya tinggal menunggu waktu saja untuk upacara ini mulai” kata paman Rais.

  “Apakah kalian sudah menyiapkan lokasi kedua dan ketiga dan seterusnya jika tempat ini tidak aman?” tanya Fandi kepada Erina dan paman Rais.

  “Sudah, tenang saja” kata Erina dan paman Rais

  “Kamu dengar itu? Itu berita baik untukmu saat ini” kata Fandi kepada Aldi setelah mendengar jawaban dari Erina dan paman Rais.

  “Terima kasih, setidaknya ini membantu untuk menahan rasa khawatir yang berlebih itu” kata Aldi.

  “Apa tidak apa selagi kamu masih bisa berdiri” kataku kepada Aldi.

  “Ya, setidaknya aku bisa berdiri” jawab Aldi.

  “Lagi pula kenapa kamu baru khawatir sekarang? Kenapa tidak sedari tadi?” tanya paman Rais.

  “Saat dari tadi itu aku masih mempunyai daya yang lebih dari cukup untuk menahan ini, namun tidak dengan sekarang, sekarang dayaku ini sudah bisa dikatakan sangat mendekati habis” terang Aldi dengan menggunakan daya baterai ponsel untuk mendeskripsikannya.

  “Ayolah bung, kau terlalu melebih-lebihkan, apa sih namanya, hiperbola ya?” kata Fandi mengatakan kata-katanya dan bertanya seraya menepuk punggung Aldi.

  “Loh, bukannya itu personifikasi?” tanyaku kepada Fandi sambil menatapnya.

  “Jelas-jelas itu adalah majas alegori” kata Shina memberi pencerahan.

  Sepertinya kemampuan bahasa yang dimiliki oleh Shina ini sangat lah tinggi dan hebat, tidak mengherankan jika Erina memasukinya ke dalam tim menulis dalam kelompok ini.

  “Hai, lihat, upacara ini segera dimulai” kata paman Rais memecah perdebatan tentang majas itu.

  Kami yang semula sedang memperdebatkan majas itu pun langsung berdiri tegak, sejujurnya kami deg-degan sekaligus penasaran dengan upacara Tiwah ini. Itu karena kami belum pernah melihatnya secara langsung dengan mata kepala sendiri.

  “Hari pertama dari upacara ini adalah pembangunan bangunan yang berbentuk rumah yang disebut Balai Pangun Jandau, meskipun begitu, tetap saja upacara ini meriah” kata paman Rais menjelaskan.

  “Bagaimana kamu bisa seyakin itu bahwa upacara Tiwah hari pertama ini akan berlangsung secara meriah?” tanya Shina.

  “Entah lah” kata paman Rais, “Aku sendiri bahkan bingung menjelaskannya, namun ketika melihat mereka semua turut andil untuk bekerja sama, saling bergotong royong dalam proses ini, aku jadi merasa upacara ini cukup meriah, selain itu, semua orang duduk dan mengobrol bersama, astaga ini pemandangan yang cukup harmonis yang jarang terjadi pada tahun modern” kata paman Rais kembali menjelaskan, lalu di akhir kalimatnya, ia menutup matanya dengan jari telunjuk dan jempol.

  “Keharmonisan yang datang dari kerja sama, gotong royong, dan komunikasi secara langsung, membuat situasi ini secara tidak sengaja menjadi meriah” kata Shina.

  “Ambil rekaman yang bagus” kata Aldi kepada Fandi sambil tersenyum.

  “Astaga, kau ini sudah sembuh memangnya?” tanya Fandi kepada Aldi yang seenaknya saja mengatur-atur dirinya.

  “Siapa saja akan tenang melihat situasi seperti ini” kataku.

  Kami semua tersenyum, dan tertawa kecil. Di balik semua itu, ada Erina yang bertugas mencatat banyak kejadian.

  “Astaga, ya ampun, maaf aku tidak sadar kamu telah mencatatnya” kata Shina.

  “Aku memang mencatatnya tetapi belum aku deskripsikan dan tentu saja aku belum uraikan, itu semua nanti kamu yang mengerjakan, sekaligus tolong berikan contoh, minimal lima” kata Erina.

  Kami semua bergidik mendengarnya, bagaimana tidak, tugas yang Erina berikan kepada Shina cukup berat, jika kami semua mendapat tugas seperti itu di sekolah, biasanya kami akan mengeluh, karena memang jawabannya akan banyak sekali, dan tentu saja akan membuat jari pegal.

  Sepertinya Erina marah. Kataku dalam hati. Ya, siapa pun pasti akan marah jika anggota kelompoknya justru malah asyik melihat upacara.

  Aku menatap Shina dalam-dalam, seolah mengatakan “Semangat”.

  “Aku akan membantu” kataku berbisik pada Shina.

  “Terima kasih, tapi ini adalah kebiasaanku, Erina tetap Erina yang normal, kok” kata Shina menjelaskan.

  “Syukurlah” kataku sambil menghembuskan napas panjang.

  “Tenang saja, dia pandai mengatur emosinya” kata Shina sambil memandang Erina.

  Aku baru tahu bahwa Erina pandai dalam mengatur emosinya, ya memang sudah terlihat sedari awal sih, tetapi sayang sekali walaupun mood atau dirinya sedang merasa senang, biasa saja, atau marah, ia tetap konsisten, terbukti saat ia memberi Shina tugas yang berat. Ya, itu bagus juga sih.

  “Jadi, apakah aku harus membantumu?” tanyaku kepada Shina.

Lihat selengkapnya