Jurnal Perjalanan Siswa

Alif Rizaldy Azra
Chapter #19

Chapter 19

Kami akhirnya menaiki jalanan yang menuju ke atas untuk menemui Fandi. Erina ikut bersama kami untuk ke atas.

Akhirnya kami berjalan menuju atas sambil mengobrol-obrol.

“Kenapa kamu ikut juga?” tanya Shina kepada Erina.

“Astaga, kamu tidak mau aku ikut karena apa?” kata Erina tajam langsung mempertanyakan alasannya.

“Bukan masalah apa-apa tapi kami sejujurnya sedang ingin berkembang, terutama Aldi” kataku.

“Jadi maksud kalian aku adalah penghambat untuk kelian yang sedang ingin berkembang?” kata Erina sekali lagi sambil cengar-cengir.

Kami semua tahu bahwa Erina sedang bercanda kepada kami, akan tetapi candanya selalu saja terlihat seolah sedang marah. Ia mengatakan bahwa sejujurnya ia lebih menikmati canda yang seperti itu, karena baginya itu keren seolah seorang yang habis memenangkan debatnya. Bahkan dalam urusan bercanda saja, Erina ingin agar ia yang menjadi kaptennya.

“Bukan begitu, sebenarnya kamu itu boleh-boleh saja ikut dengan kami” kata Aldi, “Akan tetapi, jika kamu ikut dengan kami, maka kamulah yang akan menganalisis, mencari jalan keluar, mengambil kesimpulan, karena kamu adalah pemimpin dari kelompok ini, jadi, kami seolah-olah selalu bergantung padamu, dan kami tidak ingin akan hal itu” kata Aldi.

Aldi memang orang yang paling ingin berkembang, karena orang yang selama ini ia anggap paling susah untuk berkembang, yaitu Fandi, justru malah memberi perkembangan yang sangat signifikan, disusul oleh Erina, Shina, dan Aku sekali pun.

Aldi merasa dirinya tertinggal dan tidak ingin menjadi beban di antara kami berlima, jadi akhirnya ia adalah orang yang paling mengerti tentang alasan kenapa kami atau bahkan dirinya seorang, yang tidak berkembang.

“Syukurlah kalau kalian masih bisa berpikir seperti itu” kata Erina sambil membuang napas panjang.

“Kalian memang yang terbaik” kata Erina melanjutkan kata-katanya.

“Apa maksudnya?” tanya Aldi.

“Ya, kalian tahu dan paham sendiri bahwa aku ini memiliki jiwa kepemimpinan yang baik bukan?” kata Erina.

Aku tidak tahu apa maksud dari Erina, apakah ia berniat untuk menyombongkan diri atau apa?. Tetapi jika dilihat dari nada saat dia berbicara, ia menggunakan nada lembut, nadanya sangat lembut dan lemah, seolah sedang mensyukuri sesuatu. Memang baru saja ia mengatakan bahwa kami adalah yang terbaik. Tapi Aku, Shina dan Aldi tidak tahu apa maksudnya dan apa hubungannya dengan jiwa kepemimpinannya.

“Aku mempunyai jiwa kepemimpinan yang hebat sejak dulu” kata Erina melanjutkan.

Nadanya masih sama seperti nada yang tadi. Kami juga sedang berjalan menuju atas melewati jalan yang terukir di tembok tanah yang hebat ini. Sudahkah aku mengatakan bahwa perumahan ini berada di tengah tanah yang seperti tercongkel yang membuatnya menjadi sangat-sangat unik dan indah seperti di serial film atau pun novel yang terkenal?.

“Namun, dulu saat aku masih belum bertemu dengan kalian, aku sama seperti seorang budak” kata Erina melanjutkan.

“Jiwa kepemimpinan yang sudah melekat pada diriku sejak lama ini membuat aku sangat disiplin, mencapai nilai tinggi dan selalu cepat mengerjakan tugas adalah kebiasaanku” kata Erina sekali lagi.

“Tapi dulu, itu semua malah membuatku seperti budak. Jika ada tugas kelompok seperti ini, biasanya aku yang mengerjakan semuanya, sama seperti budak” kata Erina.

“Dulu, mereka tidak memiliki pemikiran seperti yang kalian punya, jika kalian bisa berpikir untuk maju agar tidak menjadi beban, maka mereka kebalikannya. Dengan kehadiranku, mereka justru menaruh semua tugas mereka padaku, dan menjadikanku alasan agar mereka tidak mau berkembang. Sangat berbeda seperti kalian” kata Erina.

“Aku dulu sempat berpikir bahwa tidak ada lagi manusia seperti kalian, namun ternyata aku salah. Aku dulu berpikir jika ada tugas kelompok, aku tidak akan membuat kelompok, cukup aku saja yang menjadi anggota karena dengan pemikiranku yang memang seperti itu aku menganggap tidak begitu berguna jika aku merekrut anggota, tapi dengan adanya keberadaan kalian membuat aku tersadar bahwa masih banyak orang yang baik. Terima kasih” kata Erina pelan.

Aku, Shina dan Aldi saling bertatap-tatapan. Kami tidak tahu bagaimana kamu harus menghiburnya.

Seolah mengetahui apa pikiran kami, Erina langsung membuka mulut lagi dan mengatakan, “Kalian tidak perlu menghiburku, cukup punya keinginan berkembang dan menyelesaikan tugas ini dengan baik adalah hadiah terbaik yang akan ku dapatkan nanti”.

Entah kenapa aku merasa lega, mungkin begitu juga dengan apa yang dirasakan oleh Shina dan Aldi saat ini.

“Seperti biasanya” kata Aldi.

“Muka, mu terlalu memperlihatkan apa yang sedang kamu pikirkan, Dika” kata Erina.

Aku tertawa kecil, mukaku sedikit memerah padam. Shina seperti biasa, ia tersenyum. Aldi membuang napas panjang, lalu disusul tawa kecil darinya. Erina juga ikut tersenyum.

Tidak terasa kami sudah sampai di atas. Beberapa puluh meter dari kami berdiri ada Fandi dan paman Rais.

Beberapa puluh meter dari kami berdiri terdapat pohon, namun terlihat terjaga, bahkan ada jalanan di hutan itu. Maka aku menyimpulkan bahwa hutan ini adalah hutan terawat yang dipakai oleh warga suku Dayak untuk melakukan aktivitas seperti menebang pohon mungkin.

Kembali dengan Fandi dan paman Rais, mereka berada di dekat pinggir tebing, beberapa puluh meter dari tebing itu terdapat hutan dengan pohon serba besar yang sempat kami lewati.

Di depan tebing itu terlihat pemandangan hutan yang penuh dengan kehijauan yang asri. Saat ini pukul

Pemandangan yang hebat ini, pasti Fandi sudah mengambil puluhan foto dari sudut-sudut yang menakjubkan.

“Hm? Sepertinya kalian sudah menyelesaikan tugas kalian ya?” kata Fandi sambil bertanya apakah kami sudah selesai dengan tugas kami.

“Kami butuh beberapa bukti agar kemungkinan yang kami bisa memperkuat kemungkinan yang kami ambil” kataku kepada Fandi.

“Kalian butuh bukti foto?” tanya Fandi. Siapa pun pasti mengerti jika kami mendatangi Fandi, itu tandanya kami butuh bantuannya. Dan keahlian Fandi adalah memotret, maka siapa pun pasti bisa menebak apa yang kami butuh.

“Sebenarnya tidak, tapi iya” kata Shina

“Apa maksudnya?” tanya Fandi.

“Ya, kami butuh foto yang menunjukkan pekarangan rumah yang luas dan besar, mungkin” kata Aldi menjelaskan sesingkat mungkin kepada Fandi.

“Untuk apa?” tanya paman Rais.

“Kami ingin mengetahui rumah bangsawan suku Dayak” kataku menjelaskan.

“Biarkan aku menebaknya, pasti kalian butuh bukti kuat untuk observasi tentang daun telinga yang memanjang itu?” kata paman Rais menanggapi kata-kataku.

“Ya, tunggu, bagaimana bisa kamu tahu?” tanyaku.

“Ya, karena aku tahu kalian akan mencari jawaban tentang daun telinga itu, kebetulan aku mengetahuinya, aku ingin memberi tahu ke kalian, tapi aku urungkan karena aku percaya kalian pasti bisa, aku juga sudah menebak bahwa kalian pasti akan datang mencari bukti” kata paman Rais.

“Sebenarnya sulit sekali bukan, jadi aku ingin langsung memberitahu kalian saja bahwa dugaan kalian tentang pemilik daun telinga panjang itu yang menunjukkan kedudukan sosial adalah keturunan bangsawan adalah benar, jadi kalian tidak perlu foto tambahan untuk rumah, karena memang tidak diperlukan” kata paman Rais dengan enteng.

“Tidak apa, aku sudah meminta izin kepada Erina untuk memberi tahu kalian” kata paman Rais sambil menunjuk ke arah Erina.

Lihat selengkapnya