“Aldi, lindungi yang lainnya, Dika, bantu Aldi untuk melindungi yang lainnya” kata paman Rais memberi instruksi, diakhiri dengan tatapan penuh arti kepada Erina.
Aku paham dengan arti tatapannya itu, itu berarti paman Rais meminta kepada Erina untuk menyusun rencana. Paman Rais tidak memberitahu langsung dengan mulut, mungkin karena jika ketahuan bahwa otak dari kelompok kami adalah Erina, maka Erina akan menjadi lebih diincar.
“Aldi, apakah kamu masih sanggup untuk melakukan tendangan kuat seperti tadi?” tanyaku kepada Aldi.
“Serahkan itu padaku!” kata Aldi dengan mantap, ditambah tatapan matanya yang terlihat cukup meyakinkan.
“Aku akan ikut dari belakang!” kata Fandi dengan nada bicara kecil.
“Ini adalah petualangan yang sudah kudamba-dambakan sejak dulu” kata Fandi lalu mengambil napas panjang. “Maka dari itu, biarkan aku membantu, aku akan berikan satu lensa ini kepadamu, Dika, pakailah lensa ini dengan kacamata Aldi” kata Fandi.
Aldi langsung mengerti setelah mendengar kata-kata dari Fandi, ia mengeluarkan kacamatanya yang sudah ia simpan. Kondisi saat ini berjalan masih dengan suara berbisik-bisik.
Aku menerima lensa canggih itu dari Fandi, lalu menerima Kacamata dari Aldi, memasangnya dengan cepat karena terburu-buru lalu langsung memakainya.
Aku tersadar, mata kananku melihat semacam komputer yang bahkan lebih canggih dari komputer biasa. Sedangkan mata kiriku bisa kugunakan untuk melihat situasi.
“Aku akan menerbangkan satu kamera pengintai, lalu yang satu lagi untuk melihat situasi dan cadangan saja, lalu dari kamera pengintai, aku akan memberi tahu jika ada orang yang berani-beraninya menyerang kalian dari belakang atau depan” kata Fandi memberi instruksi.
Dengan begini lengkap sudah. Paman Rais dengan pedang canggihnya itu maju melawan orang yang aku sudah yakin bahwa itu adalah Djata. Lalu Aldi sebagai petarung dengan jarak dekat. Aku juga dengan pedang canggihku, ditambah pedang canggih dari Aldi, aku memegang dua pedang, aku memerankan seperti pemegang dua pedang, yang berguna untuk melindungi Aldi sang penendang.
Fandi dari belakang memasang kamera pengintai untuk memberitahu situasi dari atas. Sekaligus ia juga akan menjadi pengawas jika ada yang menyerang.
Erina yang berada di tengah-tengah dari kami, membuat rencana bagaimana untuk keluar dari situasi yang menyulitkan kami ini, dibantu dengan asistennya sejak lama, yaitu Shina.
Kami sudah seperti memasang peranan masing-masing dengan keunggulan kami, berusaha sekuat tenaga untuk melewati situasi ini.
“Tidak cukup satu orang saja, lima orang! Kita butuh lima orang untuk menyelesaikan tikus-tikus ini, jangan remehkan mereka!” kata orang yang sedari tadi sudah memimpin rombongan.
Jika dilihat dari sisi kanan hutan dan sisi kiri hutan, maka totalnya mungkin saja puluhan. Sementara kami hanya berenam saja.
“Aku minta maaf, aku tidak mengaktifkan mode kamera pengintaiku, aku jadi tidak melihat orang-orang ini” kata Fandi pelan, nadanya penuh dengan penyesalan.
“Tidak apa-apa, lagi pula jika kita mengetahui orang-orang itu ingin menyerang kita, kita juga tidak bisa kembali ke rumah begitu saja. Mau ketahuan atau tidak, akhirannya tetap saja kita semua akan terkepung” kata Shina menenangkan.
Fandi tetap diam, sepertinya ia sedang mempertimbangkan apa kata dari Shina.