Aku mulai bisa merasakan tubuhku dalam beberapa waktu terakhir, itu pun hanya beberapa bagian tubuh milikku saja yang bisaku gerakkan. Aku berusaha membuka mataku, aku bisa melakukannya!.
Aku juga berusaha untuk menggerakkan tanganku. Astaga, aku masih belum bisa menggerakkannya, setelah aku sadari, ternyata tanganku terikat ke belakang.
Selain itu, aku mulai merasakan indra milikku mulai kembali satu persatu. Aku mendengar seseorang berbicara, “Akhirnya bangun juga” kata orang itu.
Aku kenal betul dengan suaranya, dan aku yakin tebakanku pasti benar, aku menolehkan kepala ke arah suara itu datang.
Tebakanku benar, itu Shina. Ia berada di samping kiriku, tangannya pun sama-sama diikat ke belakang sama sepertiku.
Di samping sebelah kiriku ada Aldi, mukanya jauh lebih memar dari pada luka yang aku terima. Aku hanya menerima luka benjol saja, lalu tulang hidungku juga patah sehingga aku mimisan.
Di samping kanan Aldi, ada Fandi, ia juga pingsan, dari mulutnya keluar sedikit noda darah, sepertinya ia dipaksa untuk berdiam dan menutup mulut. Karena sejak kami semua mulai tumbang, ia yang masih berjuang, berteriak membela kami.
Di samping kiri sebelah Shina, ada Erina. Sama seperti Shina, Erina juga tidak mengalami luka apa pun.
Tepat di depanku, ada paman Rais, dari mulutnya ada banyak sekali noda darah, sepertinya ia sempat muntah darah, selain itu, ada darah dari kepalanya, yang sudah berhenti mengalir, darah itu menutupi dahinya.
Dan dari semua itu, hanya aku dan Shina yang sudah berhasil sadar.
“Kita pingsan?” tanyaku kepada Shina dengan suara berbisik karena takut ada yang mendengar.
Walaupun sebenarnya kami berada di ruang tertutup yang aneh. Dengan ukuran 5×3 meter dan tingginya mungkin 3-4 meter. Tempatnya tampak seperti gua. Pintunya mungkin sengaja ditutup oleh batu besar. Aku sendiri tidak tahu bagaimana mereka bisa menggerakkannya.
Hanya ada beberapa saluran udara. Di sudut atas langit-langit.
“Sudah seberapa lama kita pingsan?” tanyaku sekali lagi kepada Shina.
“Entah lah, yang jelas aku sudah sadarkan diri sejak beberapa jam yang lalu, mungkin saja sekitar dua jam yang lalu” kata Shina menjelaskan.
“Kamu sangat cepat sadar ya” kataku kepada Shina.
“Entah lah, atau mungkin saja evolusi” kata Shina singkat.
“Evolusi? Apa maksudmu?” tanyaku kepada Shina.
“Ya, kamu tahukan bahwa aku ini adalah seorang manusia yang berasal dari masa depan” kata Shina.
“Mungkin saja orang-orang di masa depan sudah berevolusi menjadi lebih kuat dibandingkan dengan manusia-manusia pada zaman 2045” kata Shina.
Aku menunjukkan muka bingung dan heran, evolusi? Manusia berevolusi?.
“Ayolah, aku kan cuma bercanda saja” kata Shina sambil tersenyum.
Aku menghembuskan napas panjang lalu tersenyum sambil melihat langit-langit ruangan ini.
“Bagaimana?” gumamku.
“Bagaimana bisa kamu masih sempat-sempatnya bercanda di saat-saat yang sungguh genting seperti ini?” tanyaku kepada Shina.
Shina tersenyum lalu mengatakan, “Aku bisa tersenyum karena aku sudah lega” kata Shina.
“Lega kenapa?” tanyaku.
“Kamu sudah bangun” kata Shina polos.
“Kenapa aku?” tanyaku.
“Karena biasanya, jika kamu ada, maka yang lain juga ada, maka artinya, jika kamu sadar maka sedikit lagi pasti, mereka semua akan tersadar juga” kata Shina.
“Terima kasih pujiannya, tetapi aku tidak yakin kamu benar-benar lega hanya karena faktor yang kamu sebutkan tadi” kataku kepadanya.
“Kamu memang tajam ya” kata Shina.
“Aku bisa lega, karena memang aku sudah memiliki rencana” kata Shina.
“Rencana apa?” tanyaku lagi kepadanya.
“Selama aku terbangun beberapa jam yang lalu, aku tahu bahwa saat ini kita berada di penjara sementara, lalu letak penjara ini juga berada di dekat kawasan perbatasan antara pemukiman dan hutan” kata Shina.
“Lalu?” tanyaku lagi.
“Aku juga tahu, bahwa mereka menutup pintu penjara ini dengan cara di dorong bersama-sama, mungkin empat sampai bahkan tujuh orang yang mendorongnya” kata Shina.
“Aku juga tahu bahwa lapisan dinding tipis, aku tahu ini karena aku bisa mendengarkan pembicaraan orang-orang itu dengan jelas walaupun aku tidak berada di dekat dinding, lalu aku juga mendapat informasi dengan tidak sengaja karena mendengar pembicaraan mereka” kata Shina.
“Lalu apa yang harus kita lakukan?” tanyaku kepada Shina.
“Dengan kamera pengintai Fandi” kata Shina.
“Masalahnya, kita tidak tahu di mana kamera itu berada” kataku.
“Uh, aku menyimpan tiga kamera pengintai itu, dan yang kuberikan kepada Fandi hanya dua, jadi aku masih menyimpan satu” kata Aldi sambil terengah-engah.
“Kamu sudah bangun?” tanyaku.
“Baru saja, mendengar percakapan kalian membuatku bersemangat, aku sudah lama tidak taekwondo, jadi setelah bertarung tadi, aku agak kesulitan, akan tetapi aku menjadi bersemangat lagi” kata Aldi.
“Taekwondo? Aku baru tahu kalau kamu sempat ikut taekwondo, pantas saja gerakan yang tadi sangat fantastis” kata Shina.
“Aku memang belum mengatakannya kepada kamu dan Erina, omong-omong terima kasih pujiannya, itu masih terlalu jauh untuk bisa dikatakan fantastis, ada yang lebih fantastis lagi” kata Aldi menanggapi Shina.
“Jadi dengan kamera pengintai yang hanya tersisa satu buah saja, kita harus berbuat apa” kataku.
“Mengembalikannya ke masa depan, masa kita, 2045” kata paman Rais yang ternyata juga baru saja sadar.
“Aku baru sadar, kalian memang hebat, kalian bisa berpikir logis dengan kepala dingin dan menyusun rencana” kata paman Rais.
“Namun sepertinya kepalamu kurang dingin, bagaimana bisa mengirimkan benda mati ke masa depan” kata Erina yang ternyata juga baru saja sadarkan diri.
“Memang tidak bisa jika menggunakan alat mesin waktu milik Shina, tetapi bisa jika milik punyaku” kata paman Rais.
“Tunggu, jangan-jangan kau...” kata Shina terpotong, ia sedikit terkejut.
“Ya benar, aku adalah orang yang berasal dari departemen mesin waktu, bukan arkeolog, dan juga aku ini ingin mencari seorang penjahat yang memanfaatkan mesin waktu dengan tidak bijak, menurut laporan, ia bersembunyi di suku Iban, Dayak. Ia memanfaatkan mereka, ia adalah oknum tak bersahabat dengan konsep ruang dan waktu” kata paman Rais.
“Baiklah, lakukan saja itu” kata Erina.
“Aku juga akan memerintahkan beruang canggih itu untuk mengalihkan perhatian mereka, lalu kita akan kabur” kata paman Rais memberi rencana.
“Tidak akan aku biarkan kalian kabur begitu saja” kata seseorang dari luar.
“Djata ya? Ternyata memang benar dugaanku bahwa yang menyerang kami tadi adalah kau” kataku.
Djata di luar sedang bersender di dinding, salah satu kakinya sedang diangkat dan disenderkan di dinding juga.
“Memang iya, kau sangat tajam ya” kata Djata kepadaku.
“Kenapa kau menyerang kami?” aku bertanya.
“Karena aku seperti melihat penyelamat dari kalian” kata Djata.
“Apa maksudmu?” tanyaku kesal.
“Tidak apa-apa, awalnya aku mengira kalian adalah penyelamat, tetapi ternyata tidak lebih dari tikus saja” kata Djata.
“Apa karena mereka yang tahu kau akan segera mati, maka kau menuruti perintah mereka?” kataku tegas karena terbawa suasana.
“Memangnya kau tahu apa?” tanya Djata.
Aku tidak membalas pertanyaannya.
“Orang luar sepertimu, seharusnya tahu akan batasan, kau ini keterlaluan, memangnya kau ini siapa?” tanya Djata.
“Aku ini temanmu” kataku menegaskan.
Djata terdiam tidak membalas.
“Aku tidak bersedia, berteman denganmu, aku tidak akan pernah berteman orang yang suka menggonta-ganti nama mereka” kata Djata.
Aku tak tahan lagi bagaimana menghadapinya. Ia sudah sekeras batu.
“Asal kau tahu, kami ini berasal dari masa depan” kataku akhirnya mengatakan hal itu karena tidak sabar lagi menghadapi sikap Djata.
“Hoi!” kata Shina mengingatkan.
“Tidak apa, toh sedari tadi ia mendengarkan kita kan” kata Erina.
“Apakah di depan ruangan ini tidak ada orang lain selain Djata?” tanya Shina.
“Sepertinya tidak” jawab Aldi
“Lalu?” tanya Djata.