Kami berlari sepanjang perjalanan menuju markas kelompok pelindung masyarakat suku Dayak yang kini sudah diambil alih oleh Kin.
“Sudah sekitar tujuh belas menit kita semua berlari dan beristirahat” kataku sambil ngos-ngosan.
“Kapan kita akan sampai?” tanya Fandi.
“Sedikit lagi” kata Djata sambil terus memandang ke depan.
“Ada apa?” tanya Aldi kepada Djata.
“Bersembunyilah kalian semua, biarkan aku dan paman Rais yang akan menyelesaikan ini semua, semuanya tetap berada dalam strategi” kata Djata.
“Apa maksudnya? Memangnya apa yang sedang terjadi?” tanya Erina kepada Djata dan paman Rais.
“Singkatnya, ada yang datang” kata paman Rais.
“Kemungkinan itu adalah suruhan dari Kin, akan tetapi yang datang hanya beberapa orang saja, terdengar dari suara hentakan kaki mereka” kata Djata.
Kami semua menatap Djata penuh dengan kebingungan, tidak terkecuali dengan paman Rais. Ia juga menatap Djata dengan bingung. Hal ini jelas akan terjadi karena memang hal ini tentu aneh, pasalnya Djata bisa mendengar suara dari langkah kaki orang yang bahkan orangnya saja tidak terlihat dari sini.
“Tunggu apa lagi, cepatlah bersembunyi dan terus berlari menuju markas Kin, kami akan menyusul, beberapa orang saja bahkan tidak bisa melukaiku walau itu hanya segores pun!” kata Djata dengan gagah.
Kami semua menuruti apa kata Djata, kami berjalan menuju semak-semak dan akhirnya kami dengan sukses bersembunyi, selain terus bersembunyi, kami juga harus berjalan menuju markas Kin dengan pelan-pelan agar keberadaan kami tidak diketahui.
Kami dari kejauhan di balik semak-semak yang tertutup oleh pohon-pohon kecil terus berjalan, tak lama kemudian orang-orang yang dimaksud oleh Djata dan paman Rais benar-benar datang, mereka ada sekitar lima sampai tujuh orang. Bagi kami ini adalah masalah besar, tetapi bagi gabungan kombo antara Djata dan paman Rais, masalah ini hanya lah masalah kecil yang bisa diselesaikan hanya dengan menjentikkan jari jemari saja.
Djata dan paman Rais berlari mendekati langsung ke orang-orang itu, ketika sudah dekat, paman Rais meninju salah satu orang tepat di wajahnya sehingga tulang hidungnya patah dan ia mimisan.
Selesai meninju satu orang itu, muncul lagi orang yang ingin melukai paman Rais dari sisi bagian kanan. Namun dengan sigap, paman Rais memutar dirinya dan meluncurkan tendangan tepat di dagu orang itu.
Paman Rais berputar sama seperti Aldi yang berputar, namun yang menjadi pembeda adalah, paman Rais berputar dengan kaki yang masih menyentuh permukaan tanah. Lalu paman Rais juga menendang dagu orang itu, sama dengan seperti yang aku lakukan saat kami terkepung. Bedanya adalah, saat aku menendang dagu musuh, aku dalam posisi tiduran telentang menghadap langit. Tetapi tidak dengan paman Rais. Ia menendang dagu musuh dengan gerakan kaki yang dari bawah hingga atas, badannya seolah-olah sangat lentur sekali dan ia menendang seperti itu dengan posisi berdiri tegak.
Kedua orang yang sudah dihajar oleh paman Rais terjatuh. Pertahanan mereka runtuh begitu saja. Begitu juga saat Djata melompat dan menyerang salah dua dari kelompok itu, Djata seperti seekor ular yang melata, alias sangat amat lentur.
Berbagai serangan dari musuh bisa dihindari oleh Djata dengan cepat dan efektif, selain itu, Djata juga berlari ke belakang musuhnya dengan cepat sambil menghindari serangan-serangan dari musuh. Ia terlihat seperti seekor cheetah yang sangat lincah.
Djata juga melawan dua dari musuh itu, jadi total musuh yang sudah berhasil dikalahkan oleh paman Rais dan Djata berjumlah empat orang musuh. Total dari keseluruhan musuh adalah tujuh orang, empat di antaranya sudah berhasil dikalahkan, hanya bersisa tiga orang saja.
Kini kami tidak perlu khawatir lagi, kami bisa berjalan menuju Kin berada sambil terus menyembunyikan keberadaan kami.
“Ayo kita maju terus dan perhatikan langkah kalian, jangan sampai kalian menginjak daun kering atau ranting kayu yang tergeletak di tanah, itu akan mengundang perhatian” kata Erina memberi instruksi.
Kami berjalan sedikit membungkuk di antara semak belukar dan daun yang besar, juga ranting pohon yang memanjang horizontal cukup untuk menyembunyikan keberadaan kami. Kami juga berjalan secara berbaris, di barisan paling depan ada Aldi, karena dia adalah harapan kami semua, ia belajar taekwondo.
Di belakang Aldi, ada aku yang akan berperan untuk terus membantunya saat ia sedang berhadapan dengan masalah, walau kami semua sangat tidak ingin menghadapkan satu pun atau sekecil pun masalah, tak terkecuali dengan Fandi yang sangat suka petualangan, ia sudah terlalu babak belur untuk memancing perhatian musuh.
Di belakangku ada Shina, ia ditempatkan di bagian tengah karena memang ialah orang yang paling tidak bisa bertarung maupun bela diri.
Di belakang Shina sudah tentu ada Erina, ia berguna untuk mengawas dan berpikir jalan keluar, jika dilihat dari raut wajahnya, mungkin saja ia sudah memiliki puluhan jalan keluar sederhana.
Dan di barisan paling belakang ada Fandi, tidak ada alasan pasti yang membuat kami menaruhnya di posisi paling belakang.
Kami terus berjalan menyusuri semak-semak belukar ini, terkadang ada saja beberapa ranting yang menghalangi arah jalan kami, jika bukan ranting, maka daun yang menghalangi kami.
Kami menyingkirkan daun atau pun ranting-ranting itu dengan tangan kami, walaupun begitu, tetap saja daun atau ranting itu kembali ke tempat semula, membuat kami yang berjalan dengan berbaris harus menyingkirkannya berulang-ulang kali tiap barisannya.
Aldi terus memandang ke depan. Aku juga memandang ke belakang, sesekali aku juga menoleh ke belakang. Takut-takut Fandi yang berada di barisan paling akhir tertinggal atau pun semacamnya.
Shina yang paling khawatir di antara kami sebenarnya juga berguna, ia selalu memberi kami nasihat untuk berhati-hati, atau memberi nasihat klasik lainnya seperti hati-hati jangan sampai terpeleset, selalu memerhatikan langkah, atau pun nasihat-nasihat sepele lainnya yang sebenarnya tidak bisa disepelekan. Berkat Shina, kami menjadi ekstra hati-hati dan berusaha untuk meminimalisir masalah dan kemungkinan terburuk yang terjadi.
Erina selalu melihat sekitar dan sekeliling kami, sepertinya ia ingin menyempurnakan rencana-rencana beserta strategi kami untuk kabur jika ada masalah. Karena jika rencananya tidak disempurnakan, ada kemungkinan terburuk bahwa rencana ini akan gagal karena berbagai macam halangan.
“Astaga, kenapa dari tadi kamu selalu melihat kanan, kiri, atas, depan, bawah, belakang sih?” tanya Fandi dengan nada santai kepada Erina yang sangat bertolak belakang dengan Fandi. Jika Fandi terlalu santai, maka Erina terlalu khawatir. Mungkin Erina bisa menempati posisi kedua untuk orang yang paling khawatir di kelompok ini setelah Shina.
“Kamu ini kenapa sih?” kata Erina. “Kenapa kamu selalu tidak bisa melihat situasinya? Jika memang tidak bisa, setidaknya kamu harus membaca situasi terlebih dahulu sebelum menentukan mau bicara apa dan dengan gaya apa kamu bicara” lanjut Erina sambil terus berjalan.
“Ya, ya” kata Fandi. “Aku sangat paham sekali dengan situasi ini, kalian pasti sedang ingin mengantisipasi kemungkinan terburuk yang terbayang di pikiran kalian masing-masing, bukan?” lanjut Fandi kepada Erina, ia juga berbicara sambil berjalan.
“Lantas kenapa kamu mengeluarkan kata-kata dan gaya bahasa yang sangat amat santai meskipun kamu tahu situasi ini” kata Erina kepada Fandi.
“Lihat, di depan ada batu dengan tinggi yang kurang dari setengah tinggi masing-masing dari kita!” kata Shina memecah perdebatan Fandi dan Erina.
“Ya, aku paham, aku akan melompat!” kata Aldi.
“Kenapa kamu tidak memanjatnya saja?” kataku kepada Aldi.
“Itu maksudku” kata Aldi lagi.
“Bahkan Aldi saja sampai tidak bisa mengatur kata demi kata karena terlalu memikirkan kemungkinan terburuk” kata Fandi melanjutkan perdebatannya dengan Erina.
“Jika kita bisa mengantisipasi kemungkinan terburuk, maka kemungkinan-kemungkinan yang lainnya juga bisa teratasi” kata Erina kepada Fandi dengan nada yang kembali normal, sebelumnya Erina sedikit jengkel kepada Fandi.
“Ya, tapi sadarkah kalian bahwa kita ini terlalu sering memikirkan hal buruk, itu tidak baik untuk kesehatan mentalmu, terkadang bahkan ada beberapa orang yang menjadi lebih ceroboh saat memikirkan kemungkinan terburuk” kata Fandi juga dengan nada yang normal. “Kau tahu, aku ini takut kalian menjadi seperti itu dan lupa dengan potensi yang ada pada diri kalian masing-masing” lanjut Fandi.