Jurnal Perjalanan Siswa

Alif Rizaldy Azra
Chapter #23

Chapter 23

Aku menjelaskan pesan yang berisi strategi yang dikirim oleh Fandi, strategi itu ditulis oleh Erina. Aku menjelaskannya kepada Aldi, untungnya Aldi cepat mengerti, ia langsung memepetkan dirinya ke dekat Djata.

Akan tetapi aku sadar, aku harus semakin jauh dari mereka untuk memprediksi gerakan musuh, akan tetapi semua itu tidaklah mudah karena jika aku sendirian menjauh dari mereka, maka aku akan menjadi sasaran empuk mereka.

Aku sedikit mundur lagi untuk menuliskan sebuah surat dari lensa canggih itu, lensa yang bisa ditempelkan pada lensa kacamata berbentuk apa pun itu ternyata cukup canggih. Bahkan kacamata itu juga bisa mengetik, bedanya, jika ingin mengetik, maka, kita hanya perlu melirik huruf demi huruf. Secepat apa pun lirikan kita, ketikan juga semakin cepat.

Aku cukup beruntung karena Fandi dan Aldi membuat ini, dan yang lebih beruntungnya adalah, mereka membawa alat ini ke zaman ini.

Aku menuliskan pesan yang berisi, “tolong aku untuk memprediksi gerakan musuh, taruh kamera ini di tempat yang paling aman, dan sedikit jauh dari medan tempur ini”.

Fandi menangkap pesan ini dengan cepat dan menyerahkannya kepada Erina, di situ Erina dan Shina membahas rancangan dan rencana yang akan mereka ambil untuk membantuku.

Fandi memberi sinyal singkat, yang jika dibuka, akan berisi pesan yang berbunyi: “Baik, akan kami usahakan sebaik mungkin”.

Aku menyengir, aku tahu mereka bertiga bisa mengatasi ini dari kejauhan, aku juga yakin mereka bisa membantu kami tanpa perlu menunjukkan tubuh mereka, bahkan musuh tahu keberadaan mereka pun tidak. Mereka persis sama seperti dalang yang sedang memainkan wayang-wayang mereka. Dengan kata lain, mereka bertigalah orang-orang yang mengatur peperangan ini dari balik layar sejak peperangan dimulai.

Mereka bertiga yaitu Erina, Shina dan Fandi, langsung mengarahkan kamera pengintai ke tempat yang sedikit jauh, di samping pertarungan ini. Posisi ini juga adalah posisi yang sedari tadi aku gunakan. Karena, dalam posisi seperti ini, aku bisa melihat pergerakan orang lain.

Karena kamera pengintai super canggih itu sudah ditempatkan di tempat yang benar dan tempat yang tidak akan ketahuan, maka aku bisa bebas bergerak ke mana saja. Aku juga menyambungkan kamera pengintai itu ke lensa kamera yang sudah aku pasang.

Aku terus berlari dan berlari, menuju Aldi untuk membantu Aldi, menuju Djata untuk meraih titik tertentu terlebih dahulu, hal ini kulakukan secara terus berulang-ulang sampai ke paman Rais juga.

Karena aku yang cepat mengatasi berbagai masalah dari Aldi, paman Rais dan Djata, membuat musuh ragu-ragu untuk menyerang. Terlihat dari wajah dan tatapan mereka, aku tahu bahwa mereka sedang berpikir terlebih dahulu sebelum bergerak. Namun semua itu sia-sia saja, aku sudah memikirkan segala titik tempat musuh akan menyerang jadi aku bisa tahu terlebih dahulu. Selain itu aku juga bisa mencapai titik itu terlebih dahulu sebelum mereka sampai ke titik itu.

“Terus serang!” kata Aldi terbawa perasaan. Karena memang sedari tadi, kami semualah yang memimpin pertarungan ini.

Kami menyerang hingga jumlah musuh terus berkurang. Hingga titik ini juga aku belum melihat Djata menggunakan Mandau miliknya. Sekalipun ia menggunakannya, ia hanya menggunakan bagian belakang dan bagian bawah pegangan Mandau.

Hanya tersisa sekitar sepuluh orang saja, orang-orang dengan jumlah inilah yang sedari tadi tidak menyerang kami, mereka hanya melihat kami bertempur dengan musuh-musuh yang tadi sempat kami hadapi.

Aku bingung dan keheranan kenapa mereka tidak menyerang kami dan hanya menonton kami, begitu juga dengan Aldi, paman Rais, bahkan Djata yang memiliki banyak sekali pengalaman bertarung pun juga tampak keheranan.

Djata yang heran terlihat menelan ludah. Tatapannya kosong menghadap ke bawah. Tangan kirinya memegang bungkusan Mandau, sementara tangan kanan atau tangan yang satunya lagi memegang pegangan Mandau itu. Dapat diartikan bahwa Djata, akan menggunakan Mandaunya untuk melawan sisa-sisa orang yang hanya menonton kami.

Aku mengirim pesan kepada Erina untuk meminta jawaban tentang situasi yang sedang terjadi, namun sayangnya, Erina juga tidak mengerti hal ini.

Aku kembali melihat Djata, ia masih dalam posisi yang sudah aku deskripsikan. Sementara, sepuluh orang musuh itu masih berdiam diri.

Aku menyimpulkan sendirian, jangan-jangan sepuluh orang yang sedari tadi hanya menonton kami adalah atasan yang memiliki kekuatan yang lebih besar dari dua puluh orang yang kami lawan.

Hipotesisku juga terbukti saat Djata memperkirakan jumlah musuh yang datang, kala itu Djata mengatakan ada dua puluh musuh yang datang, tetapi kemudian yang datang adalah tiga puluh orang, itu berarti sepuluh orang yang lainnya tidak terdeteksi oleh kemampuan milik Djata sekalipun, maka bisa dipastikan bahwa mereka adalah orang-orang yang kuat, bisa diartikan sebagai orang yang memiliki level yang berbeda dari kami.

Aku berpendapat, jangan-jangan mereka ini, kesepuluh orang ini adalah orang yang memiliki level yang berbeda, akan tetapi kenapa mereka sejak pertarungan ini dimulai, kenapa mereka tetap hanya menonton saja?.

Aku memperkirakan jawaban itu sebagai, mereka sedang menghitung potensi milik bawahannya, seperti sedang menilai seberapa jauh kemampuan bawahannya.

Atau mungkin saja mereka sedang berusaha mengidentifikasi kemampuan Djata, atau bisa saja sedang mengenali pola serang Djata. Ingat dengan Mery, beruang dengan teknologi canggih yang terpaksa tidak berguna karena takut menarik perhatian masyarakat milik paman Rais?. Ya, beruang Mery milik paman Rais juga melakukan hal yang sama, pada dasarnya beruang Mery hanya lah beruang tiruan dengan kepintaran dari kecerdasan buatan atau A.I.

Itu artinya, mengidentifikasi gerakan, kekuatan atau pola musuh adalah kegiatan yang memang wajib, bahkan A.I saja merekomendasikannya.

Ditambah Djata sempat sesekali mengatakan bahwa beruang Mery sangat kuat dan tangguh, tidak seperti beruang lainnya.

Lihat selengkapnya