Internet telah membawa perubahan besar di segala aspek kehidupan masyarakat modern. Hubungan sosial, perilaku politik, model bisnis, hingga praktik jurnalisme saat ini jauh berbeda dibandingkan dengan keadaan pada awal 2000-an.
Dalam jurnalisme, salah satu hal yang paling mencolok adalah redupnya bisnis media cetak di semua negara. Khalayak lebih memilih informasi yang disediakan secara gratis oleh internet. Pemain baru di media daring atau online media bermunculan, dan perlahan menggantikan peran surat kabar dan majalah yang dahulu mendominasi perhatian khalayak.
Di Indonesia, Amerika Serikat, dan negara lain terjadi hal yang sama, pengelola media cetak terlambat bermigrasi secara serius ke media daring. Para pengambil kebijakan di media cetak terlambat menyesuaikan diri dengan perilaku dan selera khalayak, yang sudah berpusat pada internet. Mereka pun kini harus meraih kembali perhatian khalayak bersaing dengan media yang lahir pada era daring, yang sudah memiliki basis khalayak besar.
Pengelolaan media daring juga sangat berbeda dari media cetak. Manajemen redaksi dan model bisnisnya diprediksi akan selalu dinamis, tidak ada resep manjur yang berlaku secara tetap dan universal, berbeda dari model bisnis cetak dan penyiaran yang sudah mapan.
Manajemen redaksi dan model bisnis media daring sangat dinamis. Tidak ada resep manjur yang berlaku secara tetap dan universal, berbeda dari model bisnis cetak dan penyiaran yang sudah mapan.
Di sisi lain, jurnalisme daring bisa digunakan untuk mendukung media penyiaran, misalnya, melalui situs berita yang dibuat stasiun radio dan televisi. Dengan ini, liputan jurnalis media penyiaran yang sebelumnya “langsung menguap” setelah disiarkan bisa tercatat dalam wujud teks dan multimedia sehingga bisa selalu diakses khalayak.
Semua pemain media daring, baik yang bermigrasi dari media cetak, berasal dari media penyiaran, ataupun asli daring, dituntut untuk memaksimalkan keberadaan internet dan berbagai kecakapan digital pendukung jurnalisme.
Saat ini, periode 2010-an, adalah masa ketika media daring mengalami dinamika luar biasa, baik dalam hal ragam konten, saluran distribusi, khalayak, maupun cara untuk memperoleh pemasukan.
Jumlah media daring tumbuh pesat, baik media pers maupun nonpers, baik yang profesional maupun nonprofesional. Semua media itu juga harus bersaing dengan media konvensional dan raksasa media sosial untuk merebut perhatian khalayak.
Ironisnya, attention span (rentang perhatian) khalayak saat ini lebih pendek daripada dahulu. Riset oleh Microsoft menunjukkan rentang perhatian khalayak internet saat mengonsumsi sebuah laman daring rata-rata hanya 8 detik (2015), turun dari 12 detik pada 2000.
Persaingan merebut perhatian khalayak di antara segala jenis media itu juga dianggap ikut menurunkan kualitas jurnalisme daring. Ini karena media pers harus mengejar jumlah klik dari khalayak dan kecepatan menerbitkan berita.
Akan tetapi, selalu ada sisi positif dalam segala hal. Tantangan tersebut memunculkan beragam inovasi yang sangat menarik. Hampir setiap hari, berbagai publikasi terkait jurnalisme digital seperti Nieman Lab dan Poynter Institute menerbitkan bermacam cara dan eksperimen yang dilakukan media pers dalam memanfaatkan internet, mulai dari ragam konten hingga model bisnis.
Tantangan berat yang dihadirkan ekosistem internet memunculkan beragam inovasi sangat menarik, mulai dari cara kerja redaksi, ragam dan penyajian konten, hingga model bisnis.
Media daring yang berhasil adalah yang bisa memanfaatkan kelebihan internet semaksimal mungkin, secara terus-menerus, untuk melayani kebutuhan dan keinginan khalayak. Ini tuntutan yang mau tidak mau harus dijalani perusahaan media.
Di Indonesia, banyak media daring sudah menawarkan beragam konten berkualitas dan inovatif, tetapi beberapa justru membuat jurnalisme daring terkesan murahan dan menyerupai jurnalisme kuning yang menyajikan sensasi belaka.