Mengapa bahasan ini terletak paling depan? Karena, bahasa adalah fondasi praktik jurnalisme.
Pemakaian bahasa menjadi keunggulan utama jurnalis. Jurnalis sudah seharusnya lebih hebat dalam menggunakan bahasa tulis dibandingkan dengan profesional lainnya. Ini sudah lama diketahui secara luas di banyak negara.
Misalnya, bila ingin sekolah jurnalisme (dan komunikasi) di Amerika Serikat, skor TOEFL kita harus lebih tinggi daripada jika ingin mendaftar ke jurusan Sosiologi, Politik, Ekonomi, dan lainnya. Bahasa adalah senjata utama orang komunikasi, terutama jurnalisme.
Teman saya, seorang jurnalis senior, mengusulkan supaya sekolah komunikasi memberikan mata kuliah Penulisan Bahasa Indonesia, mengingat minimnya kemampuan mahasiswa dan jurnalis dalam hal ini.
Apa itu keunggulan menulis? Secara prinsip, cuma ada dua.
Pertama, menulis secara baik dan efisien.
Baik itu berarti mudah dimengerti, masuk akal, sistematis, mengikuti etika, dan mengikuti aturan tata bahasa. Jadi, baik juga berarti benar. Pemikiran yang jernih membuahkan tulisan yang jernih. Seseorang yang cara berpikirnya kacau tidak mungkin menghasilkan tulisan yang baik, dalam bahasa apa pun.
Efisien di sini mirip dengan kata “efisien” yang sering kita gunakan sehari-hari, yakni tepat dalam melakukan sesuatu tanpa membuang-buang tenaga, waktu, atau biaya. Ini berarti menulis secara singkat dan padat makna.
Kalimat yang tidak singkat adalah kalimat yang jika salah satu katanya dihilangkan, isi pesannya tetap sama. Penulis nonfiksi yang baik bisa melucuti semua kata yang tidak memiliki fungsi di setiap kalimatnya.
Padat makna berarti tiap kalimat dalam tulisan itu memiliki satu atau lebih makna yang mudah dimengerti. Jangan sampai ada kalimat yang isinya hanya mengulang pesan yang sudah disampaikan kalimat lain. Jangan sampai ada kalimat “klise” atau yang tidak menyampaikan informasi yang penting atau menarik.
Selain itu, karena menulis dalam bahasa Indonesia, kita harus menyusunnya sesuai dengan aturan baku bahasa Indonesia. Jangan pula mencampurkannya dengan kosakata bahasa Inggris yang sudah ada padanannya dalam bahasa Indonesia.
The essence of writing is rewriting, kata William Zinsser, guru menulis para jurnalis Amerika. Menulis ulang atau merevisi atau menyunting sama pentingnya dengan menulis untuk kali pertama. Hanya karena seseorang menulis secara lancar, bukan berarti dia menulis secara baik. Menyunting adalah kegiatan yang tak terpisahkan dari menulis.
Di negara kita, mahasiswa seperti didorong untuk menulis secara panjang lebar. Ada anggapan, “Tulisan lebih panjang itu lebih bagus,” atau “Orang yang bisa menulis panjang pasti pandai.” Bahkan, ada istilah “upah menulis”, yaitu jika jawaban ujian salah tetapi panjang, Anda akan diberi nilai tertentu sebagai upah menulis. Menurut saya, kebijakan ini tidak tepat dan tidak mendidik.
Semangat “menulis lebih banyak” mungkin sesuai untuk pendidikan dasar, tetapi tidak cocok untuk mahasiswa yang perlu belajar menulis secara tepat, lalu membaca lagi dan memperbaikinya—karena menyunting tak terpisahkan dari menulis.
Dalam jurnalisme: the shorter, the better. Anda menulis panjang hanya jika cerita dan data menuntut demikian. Jadi, tulisan harus selalu padat. Mentalitas tulisan padat ini sudah menjadi keutamaan dalam menulis nonfiksi (bukan hanya jurnalisme) di banyak negara.
Dalam menulis nonfiksi, kesederhanaan adalah permata. Tulisan yang padat
adalah keutamaan.
Kita sering menjumpai tulisan bahasa Indonesia yang bertele-tele—dalam bentuk pengumuman atau rilis pers yang dibuat kantor pemerintah, makalah dosen, laporan peneliti, dan tulisan jurnalis. Ini sebenarnya menghambat pesan yang ingin mereka sampaikan. Dalam menulis nonfiksi, kesederhanaan adalah permata.
Apakah Anda terganggu dengan istilah ketenagakerjaan, kepariwisataan, kepelabuhanan, kegempaan, keimigrasian, dan kegunungapian? Meski aneh, enam kata itu sudah menjadi istilah resmi yang digunakan kantor pemerintah dan media pers.
Dahulu, sebelum 2000-an, pemakaian bahasa kita lebih efisien. “Ketenagakerjaan” dan lima kata lainnya itu belum lahir. Kita sudah puas dengan “urusan tenaga kerja” atau “aktivitas gempa”. “Tenaga kerja” dan “gempa” tidak butuh imbuhan “ke-” dan “-an” karena sudah merupakan kata benda. Dua imbuhan itu tidak memiliki fungsi, tetapi kita suka dengan hal yang rumit dan panjang—sebuah penyakit bahasa dalam Indonesia modern.
Sebelum 2000-an, “ketenagakerjaan”, “kegempaan”, dan empat kata lain itu belum lahir. Kita sudah puas dengan “urusan tenaga kerja” atau “aktivitas gempa”. “Tenaga kerja” dan “gempa” tidak butuh imbuhan “ke-” dan “-an” karena sudah merupakan kata benda.
Demikian juga dengan pariwisata atau wisata, pelabuhan, imigrasi, dan gunung api, yang semuanya sudah kata benda dan sama persis artinya dengan kepariwisataan, kepelabuhanan, keimigrasian, dan kegunungapian. Kita tidak butuh menambahkan imbuhan untuk konteks apa pun.
Semakin modern Indonesia, tampaknya semakin orang tidak puas dengan kata atau kalimat sederhana. Supaya dianggap terkini atau pandai, kita merasa harus memakai istilah yang rumit. Ini penyakit tidak percaya diri. Penyakit ini menurut saya mirip dengan kecenderungan memakai istilah bahasa Inggris untuk nama program pemerintah, judul acara televisi berbahasa Indonesia, atau tulisan besar di bangunan kampus. Kita hanya tidak percaya diri dengan bahasa Indonesia.
Mungkin, suatu saat orang-orang akan menggunakan “keperempuanan” karena “perempuan” dirasa kurang canggih.
Kedua, merangkum.
Semua tulisan (narasi) sesungguhnya rangkuman data. Data ini bisa berupa pengamatan, pemikiran, perasaan, atau fakta dalam bentuk apa pun. Jadi, kemampuan merangkum sangat penting. Tugas jurnalis sejatinya merangkum peristiwa atau rangkaian peristiwa dan tanggapan orang terhadapnya.
Merangkum adalah kecakapan khas dalam jurnalisme, yang membuat penulis bisa menyusun laporan padat dari sebuah jumpa pers yang melelahkan, rangkaian peristiwa kompleks, atau laporan panjang—bahkan yang paling tidak sistematis sekalipun.
Merangkum adalah keunggulan khas jurnalis, yang diajarkan secara intensif di sekolah-sekolah jurnalisme di negara maju. Jurnalis mampu mencari dan menuliskan
hal-hal paling penting dan menarik dari suatu peristiwa, pertemuan, dan laporan yang kompleks dan membingungkan.
Setelah dua kecakapan pokok dan universal itu, kita bisa mempelajari kecakapan menulis secara indah. Sayangnya, di Indonesia, banyak orang memaknai “orang yang bisa menulis” adalah orang yang bisa menulis dengan kata-kata indah atau “penuh bunga”, entah tata bahasa dan strukturnya benar atau tidak. Padahal menulis dengan indah, dalam bahasa Inggris disebut prose, merupakan kemampuan sekunder. Yang pertama harus dimiliki itu kemampuan menulis secara logis dan padat makna.
Anda bisa mendebat bahwa menulis indah adalah sebentuk penulisan kreatif, yang juga penting dalam jurnalisme. Namun, jika Anda kuliah jurusan Creative Writing di AS, kemampuan pertama yang akan diajarkan itu menulis secara logis dan padat. Setelah banyak berlatih dan mahir, pelajaran selanjutnya menulis dengan nuansa atau keindahan, entah untuk cerita pendek, novel, atau puisi.
Menulis Cerita
Supaya bisa membuat tulisan jurnalistik yang kuat, kita juga harus memahami prinsip bahwa jurnalis adalah seorang storyteller (pencerita) yang bertugas membuat cerita yang penting dan atau menarik.
Ini hal mendasar, tetapi sering luput dari perhatian kita. Bila kita belajar jurnalisme di negara berbahasa Inggris, cara berpikir ini tampak jelas dengan sendirinya karena mereka menyebut karya jurnalis sebagai news story (cerita berita), sedangkan kita hanya menyebutnya berita, yang membuatnya terdengar seperti benda asing yang “dingin”.
Cerita adalah sesuatu yang erat dengan kehidupan manusia, kegiatan rutin yang dilakukan setiap hari sejak manusia ada. Bagi jurnalis, dia menulis cerita yang nyata secara akurat, berdasarkan pengamatan dan wawancara yang dilakukan melalui serangkaian cara.
Selain mematuhi hukum cerita atau narasi, tulisan jurnalis harus menaati aturan jurnalisme. Aturan ini banyak, mulai dari teknik penulisan piramida terbalik (menulis urut dari yang paling penting dan menarik), prinsip yang lebih bersifat abstrak (misalnya verifikasi dan keadilan), hingga etika yang bersifat abu-abu. Berbagai aturan ini akan diuraikan di bab-bab selanjutnya.
Kecakapan jurnalistik sangat teknis sehingga cara untuk menguasainya memang harus melalui banyak praktik.
Latihan
Bagaimana bisa menulis secara baik dan efisien? Hanya satu caranya: berlatih melalui praktik dan contoh.
1. Menyunting
Ini lebih merupakan pelajaran menulis dalam bahasa Indonesia. Namun, karena hanya sedikit orang yang melakukannya, kecakapan ini pun dirasa asing bagi warga Indonesia modern.
Contoh 1
Di bawah ini contoh tugas liputan mahasiswa yang lalu saya terbitkan di WargaJogja.net. Saya ambil dua alinea sebagai contohnya. Di bawah tiap alinea ada versi yang lebih baik dan efisien.
JGS, Penggaruk Sampah Visual Kota Yogyakarta
Sebelum edit:
Di tengah persoalan sampah organik dan non-organik yang masih menjadi permasalahan bagi Yogyakarta, belakangan ini keberadaan sampah visual mulai memprihatinkan. Banyaknya poster serta baliho pada beberapa titik perempatan di kota Yogyakarta, menjadikan Yogyakarta tidak seistimewa seperti kata masyarakat. Melihat keadaan itu, Gerakan Jogja Garuk Sampah (JGS) tidak tinggal diam. Pada 21 Februari 2016, gerakan yang peduli dengan lingkungan kota Yogyakarta ini mulai menyasar sampah visual dalam aksinya.
Setelah edit:
Selain sampah organik dan non-organik, keberadaan sampah visual di Yogyakarta memprihatinkan. Banyaknya poster dan baliho di perempatan jalan merusak pemandangan dan kebersihan. Sejak 21 Februari 2016, Gerakan Jogja Garuk Sampah (JGS) mulai menyasar sampah visual dalam aksinya.
Sebelum edit:
Menurut Bekti, penanggungjawab JGS, sebenarnya sampah visual merupakan masalah tersendiri bagi masyarakat kota Yogyakarta. “Untuk sampah organik atau non-organik di jalanan, memang telah memiliki petugas kebersihan harian yang membersihkannya. Sedangkan untuk sampah visual sebenarnya merupakan masalah tersendiri. Yaitu sampah yang paling terlihat, akan tetapi yang paling kurang mendapat perhatian.” kata Bekti (18).
Setelah edit:
Menurut Bekti, penanggung jawab JGS, sampah visual merupakan masalah tersendiri bagi masyarakat Yogyakarta. “Untuk sampah organik atau non-organik di jalanan, sudah ada petugas harian yang membersihkannya. Sementara itu, sampah visual kurang mendapat perhatian, padahal ini sampah yang paling terlihat,” kata Bekti (18).
Contoh 2
Menyunting Kutipan dari Narasumber