Pada era digital, berita bisa tampil dalam banyak kemungkinan. Satu berita juga bisa memadukan beragam alat multimedia, seperti animasi (GIF), infografik, screenshot (tangkapan foto) dari media sosial, atau link (tautan) ke YouTube.
Meski demikian, tetap ada unsur-unsur penting yang harus dimiliki suatu berita, tak peduli caranya disampaikan.
Unsur-unsur tersebut:
1. Fokus
2. Fakta (akurat dan diverifikasi)
3. Nilai berita
4. Jawaban
5. Sumber
6. Kejelasan
7. Etika
1. Fokus
Fokus adalah unsur paling penting di dalam berita, baik itu berita jalan atau developing news (berita yang terus diperbarui seiring tersedianya informasi), berita pendek, maupun berita panjang.
Menemukan dan mengolah fokus sering kali menjadi tugas yang paling sulit dalam membuat berita karena membutuhkan pemikiran yang jernih.
Fokus harus menjadi acuan berita—mulai dari judul hingga kalimat terakhirnya harus berhubungan langsung dengan fokus. Banyak berita di media daring Indonesia yang fokusnya kurang jelas atau uraiannya melebar dari fokus. Arah penulisan berita semestinya “turun ke dalam”, bukan melebar ke kanan atau kiri. Suatu fakta yang menurut awam “relevan” belum tentu relevan alias melebar. Hal ini membutuhkan pelatihan dan praktik.
Fokus cerita harus ditentukan sebelum jurnalis melakukan peliputan, seperti mewawancara ahli, mengambil gambar, dan mencatat hal-hal yang terjadi. Jurnalis menentukan fokus berdasarkan riset sederhana (background research) yang dilakukan sebelum meliput. Riset paling mudah berupa mencari informasi di internet atau media lain.
Untuk menentukan fokus, pertanyaan yang bisa Anda ajukan: Apa yang baru? Apa hal penting atau menarik dari peristiwa tersebut? Apa yang akan diperoleh khalayak dari membaca tulisan atau menonton video ini? Fokus memberikan konteks dan orientasi ke depan.
Sebagai contoh, Anda ingin menulis tentang angin ribut yang baru saja terjadi dan menumbangkan banyak pohon besar. Salah seorang mahasiswa saya di Ilmu Komunikasi UGM menulis tentang dampak angin ribut yang menewaskan dua pedagang di dekat pintu masuk Kebun Binatang Gembira Loka, Yogyakarta. Namun, karena belum menyiapkan fokus, wawancara yang dia lakukan terhadap Manajer Kebun Binatang Gembira Loka hanya menghasilkan catatan tentang dampak bencana dan proses pembersihannya.
Dia tidak berhasil mengungkap “konteks” dan “orientasi ke depan”, seperti apa target pembersihan dan perbaikan serta berapa biaya yang dibutuhkan, berapa potensi kerugian akibat penutupan kebun binatang bagi pengunjung, dan apa antisipasi ke depan supaya tidak terjadi peristiwa serupa.
Setelah saya memberikan catatan, dia kembali melakukan wawancara dengan fokus pada hal-hal yang sudah dan akan dilakukan pihak Gembira Loka terkait bencana itu. Dia pun berhasil mendapat data yang lebih bernilai berita (penting dan menarik), termasuk pernyataan bahwa manajemen Gembira Loka “siap bertanggung jawab terhadap seluruh korban, termasuk memberikan santunan kematian”.
Itu contoh cerita yang sangat sederhana. Untuk cerita kompleks—yang memiliki kaitan dengan peristiwa lampau, melibatkan banyak pihak, mengenai beragam isu yang berlapis-lapis—fokus cerita menjadi lebih penting.
Jurnalis harus menentukan fokus terlebih dahulu sebelum meliput dan memproduksi berita. Namun, kadang fokus cerita berubah seiring proses liputan karena jurnalis memperoleh informasi dan cara pandang baru yang dirasa lebih penting dan menarik. Bagaimanapun, kita harus memiliki fokus sebelum meliput supaya tahu pasti arah yang dituju.
Fokus adalah pemikiran utama suatu cerita. Mahasiswa atau calon jurnalis bisa berlatih menuliskannya dalam satu atau dua kalimat. Kalimat ini harus mengungkapkan: Apa hal yang penting atau menarik dari sebuah peristiwa atau situasi? Apa yang bisa diperoleh khalayak dari hal itu?
Dengan memiliki fokus yang kuat, jurnalis akan mengetahui apakah dia cukup menulis teks dan menyiapkan satu foto saja? Foto seperti apa yang paling bermanfaat? Siapa narasumber yang paling tepat untuk diwawancara? Apakah ada tulisan di internet yang bisa dikutip dan diberi tautannya di teks?
Nantinya di dalam berita, fokus ini paling tampak di lead (dibahas di Bab Menampilkan Liputan), dan menjadi porsi terbesar dari berita tersebut. Jadi, misalnya, Anda memilih fokus “kerajinan akar bambu di ajang pameran X”, tetapi aspek-aspek kerajinan akar bambu hanya menyusun 50% dari seluruh cerita dan sisanya mengulas hal lain, berarti fokus Anda telah melenceng.
Fokus tidak boleh hanya tertulis di judul dan lead, tetapi juga tecermin dalam keseluruhan cerita. Paling tidak, 75% cerita Anda harus membahas kerajinan akar bambu dan sisanya bisa mengisahkan fakta-fakta lain atau hal umum tentang pameran itu.
2. Fakta
Berita jelas harus memuat fakta, bukan opini jurnalis atau imajinasi narasumber, dan ini tidak boleh sembarang fakta. Jurnalisme hanya menyajikan fakta yang akurat dan sudah diverifikasi.
Kebenaran atau fakta yang akurat bersifat mutlak. Jurnalis harus teliti dalam mencatat dan menyajikan fakta. Meskipun yakin mendengar atau membacanya secara tepat dari suatu sumber, jurnalis perlu mengeceknya terlebih dahulu di internet atau sumber lain sebelum menerbitkannya.
Verifikasi menjadi ciri khas praktik jurnalisme. Journalism is the business of verification, yang berarti urusan utama jurnalisme adalah verifikasi atau pemeriksaan/pengujian fakta. Memeriksa atau menguji fakta merupakan pekerjaan khas jurnalis, yang tidak rutin dilakukan kelompok profesi lainnya.
Journalism is the business of verification. Memeriksa fakta adalah pekerjaan khas jurnalis, yang tidak rutin dilakukan oleh kelompok profesi lainnya.
Tujuan verifikasi untuk memperoleh kebenaran. Metodenya antara lain menguji fakta tersebut dengan bantuan internet, media lain, atau informan, melakukan cover both sides atau multiple sides (tidak menggunakan sumber tunggal dan homogen), dan tidak menggunakan sumber anonim (kecuali yang faktanya sudah diverifikasi dan sumber itu tepercaya atau terbukti benar pada masa lalu).
Bagaimanapun, sumber resmi yang selama ini sangat tepercaya, seperti pejabat pemerintah, kadang juga memberikan informasi yang tidak benar. Salah satu contoh paling akbar tentang ini, pemberitaan intens New York Times pada 2003 soal keberadaan senjata pemusnah massal di Irak. Pemberitaan yang berlandaskan sumber-sumber yang disediakan pejabat Pentagon itu dikutip banyak media AS dan internasional, yang ikut membangkitkan dukungan publik AS terhadap invasi AS ke Irak pada Maret 2003.
Akan tetapi, ternyata Irak tidak memiliki senjata pemusnah massal dan data “intelijen tepercaya” tersebut hanya karangan. Pada kemudian hari, jurnalis investigatif New York Times yang menulis liputan tersebut meminta maaf.
Pada era media sosial, kesalahan fakta lebih terbuka lebar karena jurnalis dan media dituntut lebih cepat dan lebih sering menyampaikan berita. Namun, godaan untuk cepat dan berita menjadi viral tidak boleh melupakan prinsip sebuah fakta harus dipastikan benar terlebih dahulu.