Ketika saya remaja, guru di tempat saya belajar silat mengajukan sebuah pertanyaan: Untuk apa belajar silat?
Dengan sabar dia mendengarkan jawaban dari enam murid yang dilatihnya tiap sore itu. Lalu, dia memberi jawabannya sendiri, pendek dan aneh, “Supaya tidak berkelahi.”
Murid-muridnya tidak paham—kami semua belajar silat karena sering berkelahi—tapi, seperti lazimnya, diam saja dan mencoba menafsirkan jawaban yang membingungkan itu.
Saya lupa apa tafsir saya waktu itu. Tapi, esai pertama dalam buku Whani Darmawan ini, yang saya temukan sekian puluh tahun kemudian setelah sore hari itu, agaknya mampu menegaskan kembali maksud guru saya: harus dibedakan antara bersilat dan berkelahi.
Dalam berkelahi, kita “mengumbar angkara,” kata Whani. Sedang dalam silat, ada sesuatu yang lebih ketimbang angkara. Bahkan, boleh dikatakan antitesis dari angkara.
Angkara adalah tenaga bruto. Dalam arti tertentu, negatif. Silat, yang mengalir dan tersusun dari seluruh diri, membuat tenaga bruto itu sesuatu yang tidak hilang; ia merupakan energi yang berharga. Tapi, pada saat yang sama, ia disangga dan diliputi tenaga positif.