“Kalau ada cowok ganteng ngasih lo boneka babi lucu sambil bilang gini, ‘Pas gue ke toko boneka, gue ngelihat ini dan langsung keinget sama lo. Jadi, gue beliin deh, buat lo. Terima, ya! ’. Lo bakalan marah atau seneng, Kak?”
Sedetik setelah pertanyaan itu lolos dari bibirku, Kak Adri langsung tertawa terbahak-bahak sampai nyaris jungkir balik dari sofa. Wadah popcorn di tangannya pun sampai terbalik hingga menyebabkan sebagian isinya berhamburan di sofa dan juga karpet ungu di bawah kami.
“Ih, Kak, gue serius, tauk!” Aku mencebik kesal. Sejak tadi layar TV plasma 29 inci di depan kami menampilkan acara talkshow yang dibumbui lawakan khas komedian selaku orang yang membawakan acara. Mendengar celetukan-celetukan konyol dari sang komedian, Kak Adri paling cuma senyum-senyum atau terkekeh geli. Masa cuma mendengar pertanyaanku dia langsung tertawa heboh begitu? Padahal menurutku, pertanyaanku tak lebih lucu dari lawakan di TV.
Lihatlah sekarang, Kak Adri masih setia dengan tawanya. Mata sipitnya sampai tertutup rapat-rapat dan mulutnya terbuka lebar. Itu ekspresi tertawa paling tidak jaim sedunia.
“Kak Adriiiiii, jangan ketawa, dong. Gue nanya, bukannya ngelawak.”
Pertanyaanku sebenarnya memang terkesan tidak penting, sih, tapi itulah yang kualami di sekolah tadi. Arka memberiku boneka babi berwarna pink yang terlihat lucu sambil mengucapkan kata-kata yang sama persis seperti yang kuucapkan kepada Kak Adri barusan. Reaksiku menerima perlakuan seperti itu adalah menolak pemberian Arka sambil tertawa dipaksakan. “Wah, Ar, sialan lo. Gue Muslimah nih, jadi nggak mau nerima segala jenis babi. Makasih!” Tanpa kurencanakan, suaraku terdengar sinis. Dan, aku memilih bungkam sepanjang jam sekolah tadi.
“Hahaha, ya ampun, Gea. Cowok mana coba yang ngelakuin itu ke lo?”
“Cukup jawab aja, Kak. Lo bakalan marah atau seneng atau biasa aja?”
Beberapa detik kemudian, Kak Adri berhasil mengontrol tawanya. Terlihat wajahnya memerah karena kegiatan tertawa yang dilakukannya selama seperempat menit membuatnya banyak mengeluarkan energi.
“Emang boneka babi apa, sih? Monokuro Boo? Yah, kalau gue biasa aja, sih. Soalnya gue, kan, nggak mirip hewan yang dia maksud. Jadi ya, nggak usah ambil hati, ambil aja bonekanya!” Kak Adri masih cengar-cengir geli sambil memungut popcorn yang tadi jatuh ke sofa, lalu memasukkannya kembali ke dalam wadah.
Aku mulai merenungi jawaban Kak Adri. Iya juga, sih, harusnya aku tidak tersinggung. Namun ....
“Tapi mungkin tanpa sepengetahuan lo, dia nganggep lo kayak hewan itu. Dia sedang berusaha nunjukin pendapatnya.” Aku menyuarakan dugaanku.
“Eits , pikiran lo negatif melulu. Coba pikir, mungkin dia emang niat ngasih lo hadiah. Emang siapa, sih, cowok ganteng yang lo maksud itu? Calon pacar lo?”
“Temen,” tukasku. Cuma temen.
“ Ya elah, yang namanya temen itu, kan, emang kadang suka nyablak aja. Mungkin maksudnya dia cuma ngelucu.” Aku manggut-manggut.
“Tapi, dalam rangka apa dia ngasih lo boneka? Ultah lo masih lama, kan?”
“Kan, udah gue bilang dia lagi ke toko boneka, lihat boneka babi warna pink, lalu keinget gue. Dia beliin, deh.”