“Lo gila, Ge!”
“Lo parah, Ar!”
Arka berdecak, menatapku seolah aku baru saja melakukan debus. Tatapannya menyiratkan ketidakpercayaan. Namun, aku juga dapat melihat sedikit raut kesal tercetak di wajahnya.
“Gue tuh, semalem berantem hebat sama Selly!” ucap Arka penuh penekanan, tapi aku yakin cuma aku yang bisa mendengar suara beratnya itu karena notabenenya kami duduk bersebelahan dan orang-orang di kelas ini sedang sibuk sendiri.
“Lo tuh, parah! Gue cuma ngebajak DM Instagram lo, kok.
"Cuma ngebajak. Tapi lihat apa yang lo lakuin ke handphone gue?” jawabku tak kalah kesal. “Cuma ngebajak?” tekan Arka sekali lagi, dengan mimik muka mendramatisasi keadaan. “Ngebajak manggil sayang,” tambahnya sinis.
“Ya, terus? Selly pacar lo, kan? Apa salahnya manggil sayang? Tapi, dengan emosinya lo ngerebut paksa handphone gue sampai mental dan tempered glass-nya retak! Lihat, nih!” Aku menyodorkan ponselku ke depan mukanya. Namun, itu tidak Kejadian Paling Mengerikan memengaruhi Arka, dia menjauhkan tanganku dari mukanya. Lalu, tangannya terlipat di depan dada, memberi gestur seakan mau mengintimidasiku.
“Gue beliin tempered glass baru,” ucapnya seakan tidak mau meneruskan topik mengenai nyaris rusaknya ponselku karena histerianya barusan. Jadi, tadi dia merebut ponselku ketika aku selesai membajak akun Instagram-nya yang kebetulan ‘nyangkut’ di ponselku. Saking kagetnya dia, ketika aku menunjukkan kepadanya bahwa aku mengirim DM ke Selly, dia merebut paksa ponselku dan tanpa sengaja menyebabkannya jatuh ke lantai.
Untung layarnya tidak pecah, hanya tempered glass-nya yang retak.
Aku memutar bola mata.
“Gue tuh, habis berantem hebat sama Selly semalem, Ge. Bisa-bisanya lo ngirim pesan ke dia manggil ‘sayang’, pakai embel-embel bilang kangen, lagi. Udah di-read pula! Mau ditaruh ke mana muka gue?”
“Harusnya lo bersyukur, dong, sama gue. Mungkin aja habis gue bajak gini, kalian bisa balikan lagi.”
“Lo nggak tahu aja gimana kami berantem semalem!”
“Ya makanya kasih tahu, dong.”
Arka menatapku tajam. Seakan dia sedang kesal tingkat tinggi. Namun, itu bukan jenis kesal yang sama ketika dia melihat motornya ditabrak di parkiran, lalu ditinggalkan begitu saja. Ini jenis kesal yang bercampur rasa gemas. Rasa kesal yang masih bisa reda karena dipancing dengan humor-humor receh bin garing.
Aku mencibir membalas tatapan tajam Arka yang tidak pernah mempan kepadaku. Aku tidak pernah benar-benar takut kepada Arka, atau segan kepadanya. Entahlah, menurutku Arka tidak punya bakat yang membuatku merasa terintimidasi atau menciut ketakutan. Paling menciut karena terpesona. Bakatnya hebat sekali kalau bagian itu.
“Berantem hebat versi kalian tuh, yang kayak gimana, sih? Sampai lempar-lempar piring di dapur? Mecahin televisi? Ngunci pintu kamar? Nggak, kan? Nggak gitu, kan?” kataku agak sinis tanpa kurencanakan. “Ya iyalah enggak, orang juga bukan suami- istri. Paling alesan berantemnya ya, sepele, tapi dibesar-besarin.”
Aku suka merasa sebal sama orang-orang yang berpacaran. Hebohnya bukan main. Padahal, masih SMA juga, tapi lagaknya kayak suami-istri atau orang yang sudah dipastikan akan hidup bersama dunia akhirat.
Terdengar helaan napas lolos dari bibir Arka. Kemudian, mata yang dihiasi bulu mata lentik itu tertutup sesaat. Pada saat-saat begini, aku bisa melihat dengan jelas fitur wajah Arka yang nyaris sempurna. Kegantengannya sudah memasuki level saat aku tidak bisa menahan diriku untuk tidak terus menatap ke arahnya. Ketika Arka membuka matanya, mata hitamnya yang selalu tampak berbinar itu menatapku intens.
“Selly nggak suka sama lo.”
“Iya, gue tahu, kok, tanpa lo umumin begini. Dia sukanya sama lo, kan? Ya kali, dia penyuka sesama jenis!”
“Astaga, Gea!” Arka menoyor pelan kepalaku. Aku mengaduh pelan sambil memelotot. “Bukan itu maksudnya,” sambung Arka.
“Jadi, apa maksud lo?”
“Selly nggak suka sama lo, dia nganggep kita ... terlalu deket.”
“Ohhh ....” Mulutku membulat mengeluarkan kata “O” dengan sangat panjang. “Menurut dia kita deket, ya? Hmmm, iya juga, sih. Kita deket. Gimana kalau lo pindah tempat duduk di meja guru aja atau lo ngajuin surat ke sekolah buat pindah kelas? Kita bakalan lumayan jauhan. Kalau kita begini, bener kata Selly, kita deket, jarak kita aja kurang nih dari satu meter. Gue ambil penggaris kalau nggak percaya.”
“Astaga, kali ini bukan tempered glass handphone lo yang retak, tapi tulang belulang lo. Gue beneran niat smack down lo sekarang juga kalau lo masih main-main.” Wajah Arka benar- benar tampak tak habis pikir denganku.
Aku terkekeh pelan, lalu mulai mencoba serius dengan situasi ini.
“Kita terlalu deket kata Selly,” ulang Arka. Aku terdiam sesaat.
“Lo bilang ini sebagai kode bahwa gue harus ngejauh dari lo?” tanyaku akhirnya dengan nada sok sedih.