Malam ke dua, tim relawan yang diketuai Alfa itu kembali berkumpul. Mereka kembali duduk melingkar di ruang tengah yang sekaligus ruang tamu. Malam ini mereka akan membahas tentang masalah dalam pola pendidikan yang terjadi di desa ini, serta langkah apa yang akan mereka lakukan selanjutnya.
"Sebagaimana yang kita tahu, masalah pendidikan yang terjadi di sini adalah kalahnya ilmu umum dengan ilmu agama dalam menarik minat para pelajar. Menurutku pribadi ini adalah masalah yang perlu ditangani. Bukan karena ilmu agama tidak penting, tapi akan lebih baik kalau keduanya berjalan seimbang. Tidak jomplang salah satunya begini." Alfa mulai membuka diskusi.
"Aku setuju," ucap Rion. "Ini juga akan berpengaruh pada masa depan anak-anak itu dalam dunia kerja. Kalau mereka cuma mementingkan ilmu agama, gimana mereka bisa kerja nanti? M-maksudku bukan berarti mereka gak akan bisa kerja, tapi pekerjaan yang hanya berbekal ilmu agama aja memangnya apa di jaman sekarang ini?"
"Iya. Kamu benar. Bahkan orang-orang MUI dan kementrian agama aja harus punya gelar tertentu. Maksudnya, kalau cara belajar anak-anak di sini tetap seperti ini, mereka gak akan bisa bertahan sampai perguruan tinggi. Kecuali kalau cita-cita mereka cuma mau jadi guru ngaji," sambung Lany dengan memelankan suaranya di akhir kalimat.
"Tapi gimana pun juga, itu masih spekulasi kita aja, teman-teman. Kita harus buktiin dan lihat sendiri gimana kondisi anak-anak itu sebenarnya. Kita gak bisa cuma berpegang sama apa yang disamapaiin sama Pak lurah aja. Bisa jadi situasi sebenarnya gak kayak gitu," lanjut Alfa tampak tengah berpikir.
"Maksud Abang Pak lurah bohong?" tanya Elin mengerutkan kening.
"Kita gak tahu." Alfa menghela napas pelan. "Bisa jadi juga Pak lurah enggak tahu keadaan sebenarnya gimana, bisa jadi juga dia cuma berspekulasi kayak kita. Kita enggak bisa bertindak sembarangan. Program kita bakal sia-sia kalau sampai salah sasaran."
Para anggota yang lain pun mengangguk-angguk mengerti. Untuk beberapa saat tak ada yang bersuara di antara mereka. Alfa sengaja membiarkan teman-temannya itu untuk berpikir dan memahami lingkungan yang sedang mereka hadapi ini. Sebuah lingkungan baru memang agak sulit untuk dihadapi. Untuk beradaptasi saja tidak mudah, apalagi jika harus membuat suatu perubahan.
"Ada masukan buat langkah kita selanjutnya?" tanya Alfa setelah hening beberapa saat.
"Bang, gimana kalau besok kita survei ke sekolah-sekolah? Kita lihat dan cari tahu gimana para pelajar di sana. Lewat para guru juga kita bisa kumpulin lebih banyak informasi. Jadi nantinya kita bisa simpulin apa yang dibilang sama Pak lurah tadi pagi itu benar atau enggak," celetuk Hedy menjawab pertanyaan Alfa.
"Ah, boleh-boleh. Kebetulan banget tadi aku juga sempat tanya-tanya Pak lurah soal sekolah-sekolah di sini. Jadi di desa ini ada tiga SD, satu SMP dan satu SMK. Um, sebenarnya cuma dua SD sih, yang satu lagi hanya cabang dari salah satu SD. Jadi, kira-kira nanti surveinya akan kita mulai dari mana?" Alfa menatap para anggotanya satu persatu.
"Kita bisa aja sih survei kelima sekolah sekaligus, tapi mungkin gak bakal efektif dan maksimal. Gimana kalau ke tiga SD itu aja? Toh, yang perlu kita tangani lebih serius emang jenjang paling dasar, kan? Jadi kalau program kita berhasil, anak-anak yang kita tangani itu yang akan mengubah kesalahan pola pendidikan di sini ke depannya. Gimana?" Lany memandangi teman-temannya meminta persetujuan.
"Bagus, tuh. Aku setuju," kata Rion.
"Oke, yang lain bagaimana?" tanya Alfa yang juga berarti menyetujui usul Lany itu.