Hari kedua di desa Temang tempat kesepuluh relawan itu menjalankan tugasnya pun dimulai. Seperti yang sudah mereka rencanakan semalam, pagi ini mereka akan memulai survei di tiga sekolah berbeda. Maka pagi ini, Alfa dan sebagian angota tim sudah berdiri di depan rumah sederhana yang mereka tempati untuk melakukan briefing singkat sebelum mulai menjalankan rencana.
“Ada yang masih belum keluar?” tanya Alfa pada yang lain.
“Kak Lany, Bang. Aku lihat tadi dia masih beresin dapur,” sahut Ian.
“Iya, Bang. Mau sekalian ngecek rumah juga katanya biar aman pas kita tinggal pergi,” imbuh Eca.
“Jadi Lany doang ini yang masih di dalam? Ya udah, kita tunggu aja kalau gitu,” putus Alfa kemudian.
“Cie, kalau Kak Lany aja ditungguin. By the way, Kak Lany udah memenuhi kriteria ya, Bang, jadi istri idaman,” celetuk Vira yang dengan sekejap membuat suasana menjadi riuh dengan tawa dan gojlokan untuk Alfa.
“Heh. Udah, udah. Kamu ini. Masih pagi udah ngelantur aja ngomongnya. Awas aja kalau pas di sekolah nanti omonganmu gak bener juga!” seru Alfa seraya berusaha menjitak kepala Vira yang secepat kilat menghindar.
Tak lama kemudian orang yang mereka bicarakan keluar dari pintu rumah. Tak lupa gadis yang paling dewasa di antara mereka itu pun mengunci rumah itu. “Ini gak ada yang mau masuk rumah lagi, kan?” Lany menoleh sebelum pintu rumah benar-benar ia kunci.
“Gak ada, Kak,” jawab semua anggota tim nyaris serempak, membuat Lany jadi tersenyum manis.
“Oke, kalau gitu kuncinya aku titipin Elin, ya. Kan dia yang lokasi sekolahnya paling dekat dengan basecamp. Jadi nanti buat yang lain, kalau surveinya selesai duluan, dan timnya Elin belum, bisa susul Elin ke SD 10,” ucap Lany seraya mengunci rumah itu lalu memastikan kembali kalau pintu sudah benar-benar terkunci.
“Tuh, kan. Idaman banget deh Kak Lany ini,” celetuk Vira kembali memulai huru hara.
“Eh, kenapa?” tanya Lany tak mengerti.