“Permisi, Pak. Kantor kepala sekolah sebelah mana, ya?” tanya Elin pada satpam sekolah yang saat itu kelihatannya baru selesai menyuruh anak-anak untuk segera masuk.
“Oh, di sebelah sana, Mbak. Mari saya antar,” ucapnya yang kemudian menutup gerbang besar sekolah setelah dipastikan tak ada lagi anak-anak yang datang.
“Kok ditutup, Pak? Kalau ada anak-anak yang mau masuk lagi bagaimana?” tanya Linda membuat satpam paruh baya itu menoleh lalu tersenyum.
“Ini udah jam masuk sekolah kok, Mbak. Kalau masih ada anak yang datang ya berarti mereka telat. Saya antar Mbak-mbak dan Mas ini ke kantor kepala sekolah dulu, nanti saya balik ke gerbang, buat kasih hukuman ke anak-anak kalau memang ada yang telat,” jelasnya sembari terkekeh.
Rion yang tadinya sedikit bad mood, jadi tersenyum mendengar penuturan satpam itu. Ia jadi teringat saat SMA dulu. Dirinya sangat akrab dengan satpam sekolah karena sering sekali telat. Bukan hanya sering telat, ia juga sering tidak memakai atribut sekolah yang diwajibkan. Satpam sekolahnya sampai heran kenapa bisa ada anak yang begitu alergi dengan peraturan sekolah. Herannya lagi, sekarang ia malah menjadi seorang sarjana pendidikan dan juga seorang guru di salah satu sekolah negeri di kotanya.
Sampai di depan pintu kantor kepala sekolah, dengan sigap, satpam tersebut menyampaikan kedatangan mereka bertiga. Beberapa saat kemudian, setelah berbincang singkat dengan pimpinan sekolah itu, ketiganya pun dipersilahkan masuk.
“Silakan masuk, Mbak, Mas. Ini bapak kepala sekolah. Saya balik ke gerbang dulu kalau gitu,” ucapnya lalu pamit pergi.
“Terima kasih banyak Pak satpam,” ucap keempat orang di sana─termasuk sang kepala sekolah─bergantian. Mau tak mau membuat satpam itu menyempatkan diri untuk tersenyum nyengir sebelum benar-benar pergi.
“Mari, mari silakan duduk. Ah, sebentar ya, saya tinggal sebentar,” kata kepala sekolah yang berperawakan sedikit gemuk dan tak begitu tinggi itu.
Ketiganya pun duduk di sofa yang sudah tersedia di ruang kepala sekolah. Sembari menunggu, mereka mengamati isi ruangan yang sedang mereka tempati, juga suasana halaman sekolah dan ruang-ruang kelas yang terlihat melalui jendela ruang kepala sekolah. Sekolah itu cukup besar untuk ukuran sekolah dasar di sebuah desa. Untuk sekolah sebesar ini, fasilitas pembelajaran yang disediakan sepertinya juga cukup lengkap. Tentu menjadi pertanyaan besar jika minat belajar siswa-siswanya ternyata tidak begitu tinggi pada ilmu-ilmu umum seperti yang dikatakan Pak Lurah kemarin.
“Kayaknya orang-orangnya di sini pada ramah, ya,” ucap Elin tiba-tiba memecah keheningan.