Siang itu cukup terik saat Linda baru saja pulang dari SD Dirgantara 1. Sesuai kesepakatan semalam, timnya setuju untuk membantu mengajar di tiga sekolah yang kemarin mereka datangi. Tak hanya itu, mereka bahkan hendak membantu mengajar mengaji juga. Tentu saja, tujuan yang terselip adalah untuk mengetahui perbedaan pembelajaran antara di sekolah dan di tempat anak-anak desa ini mengaji. Ah, bukan cara pembelajarannya yang ingin mereka lihat, tapi semangat anak-anaknya.
Menurut Pak Lurah, anak-anak di desa ini lebih bersemangat saat belajar mengaji. Maka dari itu, mereka ingin melihat, apa yang membuat anak-anak ini seperti itu. Apa yang sebenarnya terjadi, dan apa yang bisa mereka lakukan untuk menyelesaikan itu semua.
“Assalamu’alaikum….” Linda mengucap salam dengan lemah saat memasuki rumah.
“Wa’alaikum salam…. Sendirian, Nda?” tanya Lany yang terlihat sedang membaca majalah di kursi ruang tamu.
“Tadinya sih sama Kak Eca, Kak. Cuma pas pulang tadi dia mau ke minimarket dulu katanya. Jadi aku pulang duluan.”
“Oooh, ya udah kamu istirahat dulu, deh. Habis ini kalau udah enggak capek, kamu siapin makan siang, ya.” Lany menampilkan cengiran.
“Siap, Kak. Lima belas menitan, ya.”
“No problem.”
Selanjutnya Linda memasuki kamarnya. Tampak ruangan yang tak begitu besar itu sepi. Hanya ada Elin yang sedang merebahkan dirinya di tempat tidur.
“Yang lain pada ke mana, Kak?” tanya Linda sembari melepas kaus kaki dan kemudian ikut merebahkan dirinya di samping Elin.
“Belum datang. Palingan masih main.”
Linda mengangguk paham. “Jadwal Kakak tadi di mana?”
“Di sekolah yang kita datangi kemarin. Kamu di Dirgantara 1?”
Linda mengangguk lagi.
Pembagian jadwal juga sudah dibuat tadi malam. Beruntung semalam Linda meminta untuk makan terlebih dahulu sebelum diskusi. Karena diskusi mereka tadi malam memakan waktu yang lebih lama dari biasanya. Jika tidak makan lebih dulu, mungkin semua anggota tim Alfa sudah tidak akan mampu berpikir lagi untuk menyusun jadwal mengajar dan mengaji.
“Nda, mau dengar dongeng, gak?” tanya Elin tiba-tiba. Ia yang awalnya telentang lalu menggulingkan tubuhnya menjadi tengkurap. Dua sikunya ia pakai untuk menopang tubuh bagian atasnya.
“Dongeng?” Linda mengernyit bingung.
“Suatu hari….” Elin mulai bercerita tanpa memedulikan kebingungan Linda. “Ada sepuluh orang relawan masuk ke sebuah desa.”
Ah, Linda mengerti sekarang. Elin hendak bercerita tentang orang-orang di timnya. Cuma ia menggunakan kata dongeng, entah untuk apa.
“Mereka tinggal di sebuah rumah yang hanya memiliki tiga kamar. Satu kamar untuk dua orang perempuan, satu kamar lagi untuk tiga orang perempuan, dan kamar terakhir untuk empat orang laki-laki. Sementara perempuan terakhir tidur di luar kamar. Seperti mendapat sebuah firasat, perempuan yang tidur di luar ini bisa mengetahui jika ada di antara sembilan orang lainnya yang saling menyukai.”
Linda membulatkan mata demi mendengar apa yang baru saja Elin katakan.
“Ada satu yang sangat menarik perhatian perempuan ini. Yaitu satu orang perempuan yang menyukai laki-laki paling tampan di rumah itu. Tetapi sepertinya, laki-laki paling tampan itu tidak memiliki perasaan yang sama seperti perempuan yang menyukainya ini. Gimana menurutmu? Kasian sekali, kan?”