“Nda, kamu kedapatan ke musholla mana?” tanya Eca.
Sore ini semua anggota tim sudah bersiap untuk pergi ke musholla-musholla untuk membantu mengajar mengaji. Berbeda dengan pembagian jadwal sekolah yang paten, jadwal mengajar mengaji ini lebih acak. Jadi tiap anggota tim dapat bergantian mengajar mengaji di musholla yang berbeda setiap harinya.
“Hari ini di musholla RT 9, Kak,” jawab Linda yang saat ini sedang merapikan jilbabnya di di depan cermin.
“Kalau besok?” tanya Eca lagi. Gadis itu sendiri sebenarnya sudah siap sedari tadi. Namun entah mengapa dia tidak segera berangkat, dan masih duduk santai di atas ranjang sembari menginterogasi Linda.
“Nggg … gak tahu, deh. Belum lihat lagi.”
“Emang hari ini kamu sama siapa aja ke musholla RT 9?” Eca bertanya lagi.
“Sama Kya sama Rion,” singkat Linda.
“Eca apaan, deh!” Fira yang sedari tadi hanya menonton kini menyela. “Kamu kenapa gak berangkat aja? Jadwalmu di musholla mana, sih?”
Eca tak langsung menjawab. Ia justru merangkul lengan Fira manja. “Kan aku jadwalnya hari ini ke musholla yang sama kayak Kak Fira.”
“Eh, masa?”
Eca mengangguk sambil mengedip-ngedipkan matanya. Linda yang melihat itu hanya menghela napas lemah. Kelakuan teman-teman timnya ini sungguh luar biasa. Tanpa banyak kata, Linda segera keluar kamar dan mendekati beberapa tempelan jadwal yang ada di dinding sebelah kamar Lany dan Kya.
“Nda,” sapa Kya yang rupanya sudah berdiri di depan tempelan-tempelan jadwal yang hendak dituju Linda.
Gadis itu melirik ke arah Kya sekilas lalu fokusnya ia tujukan kembali pada tempelan jadwal di dinding. “Kak Kya ngapain?”
“Oh, ini. Cuma ngecek jadwal-jadwalku aja, sama menuhin jadwal juga.”
“Menuhin jadwal? Maksudnya?” Linda mengernyit bingung, sebelum kemudian, dilihatnya sudah ada beberapa coretan pensil di jadwal-jadwal itu.
Sepertinya Kya sudah membubuhkan namanya sendiri di beberapa list jadwal yang sebelumnya tidak ada. Jika diperhatikan, saat ini jadwal Kya benar-benar padat. Padahal di malam diskusi sebelumnya tiap anggota memiliki paling tidak satu hari libur mengajar, baik di sekolah maupun di musholla. Dahi Linda semakin berkerut saat diperhatikannya, nama Kya dibubuhkan hampir di setiap jadwal yang juga ada nama Rion di sana.
Linda pun menatap Kya, tak habis pikir.
“Kenapa?” tanya Kya.
“Kakak gak bakal capek kalau jadwalnya sepenuh ini?” Linda balik bertanya.
“Enggak, kok.” Kya tersenyum lebar. “Aku malah senang banget kalau bisa aktif di sini. Secara kita di sini kan cuma sepuluh hari, Nda. Kapan lagi?”
“Apa benar yang dibilang Elin tadi siang? Sebegini sukanyakah dia ke Rion? Tapi … Rion-nya enggak?”