(CERITA DI BAWAH INI MERUPAKAN LANJUTAN DARI PROLOG)
Beberapa jam sebelum bel pulang berbunyi, Kiel sudah bernegosiasi dan meminta Tasya untuk tetap pulang bersamanya. Awalnya gadis itu memang menolak, tapi pada akhirnya menerima keputusan Kiel dengan alasan anak lelaki itu harus menepati janji untuk mengikuti permintaan Tasya. Ketika kesepakatan terjadi, Kiel sudah merasa lega karena beban pikirannya telah berkurang dan anak lelaki itu bisa beristirahat lebih cepat. Tetapi sepertinya Tasya memikirkan hal yang jauh berbeda dengannya.
Sudah lebih dari 10 menit Kiel menunggu gadis itu di parkiran dan tidak ada tanda-tanda keberadaannya. Anak lelaki itu pun memutuskan untuk mencarinya di kelas dan di koridor yang memungkinkan gadis itu berada, dan dia pun menemukan Tasya yang ternyata sudah berada di tengah-tengah halaman sekolah—pergi sendirian menuju gerbang.
“Tasya!”
Kiel pun berjalan dengan tergesa-gesa, berusaha menerobos lautan murid yang berdesakan keluar sekolah. “Kau mau ke mana?”
“Aku mau pulang sendiri!” sahut Tasya.
Jujur saja, sikap yang seenaknya dan tidak memedulikan dirinya sendiri membuat Kiel kewalahan dengan gadis itu. Lihatlah sekarang, langkahnya yang terlihat tanpa beban sedangkan Kiel sedang panik setengah mati terlebih setelah kejadian kemarin dirinya bertemu dengan Artemis Hund.
Gadis itu mempercepat langkahnya agar Kiel semakin tertinggal. Jalur keluar sudah tertutup oleh murid-murid yang keluar secara bersamaan, beberapa menit terbuang sudah cukup untuk membuat Tasya berada dalam bahaya.
“Berhenti mengikutiku. Aku ingin pulang sendiri, pergi sana,” kata Tasya.
“Tasya, tunggu! Dengarkan aku dulu!”
Sudah terlambat bagi Kiel untuk mengejar Tasya yang saat ini sudah di bawa masuk ke mobil oleh beberapa pria berbaju hitam. Dengan sigap anak lelaki itu memanggil pamannya dan meminjam motor Saka untuk mengejar mobil tersebut.
Semuanya terjadi dalam waktu singkat, mulai dari Kiel yang berusaha mengejar mobil tersebut hingga menabrakkan motor Saka ke mobil itu untuk memperhambat lajunya sampai pada akhirnya anak lelaki itu berhasil mengalahkan para penculik. Beruntungnya kejadian hari ini tidak membuat Tasya terluka secara fisik dan Kiel memanggil bala bantuan secepat mungkin. Ketika anggota Red Hand datang, Kiel pun segera menceritakan kejadian secara singkat kepada mereka dan membiarkan para pamannya mengurus kekacauan yang terjadi.
“Jalan itu termasuk jalan sepi yang jarang dilalui orang, untungnya tadi tidak ada saksi mata sama sekali. Tetapi mungkin beberapa murid melihat saat Tasya dibawa mobil itu karena mereka membawanya secara terang-terangan. Lalu aku juga sempat meminjam motor milik temanku yang sekarang tergeletak lumayan jauh dari sini, kondisi motornya hancur parah,” tutur Kiel.
“Aku akan mengurus kekacauan yang telah kau buat, bawa gadis itu pulang ke rumahnya dan tenangkan dia. Setelah itu, kembali ke markas. Kita harus membicarakan ini lebih lanjut,” kata Sandi, salah satu paman yang selalu membantu Kiel dalam mengatasi segala urusan. Sandi merupakan paman terdekatnya dibandingkan dengan para paman lainnya.
Pria itu terlihat marah dan mungkin saja Kiel sudah dihajar habis-habisan jika tidak ada Tasya di sampingnya. Tidak ada hal lain yang bisa Kiel lakukan selain menuruti perkataan Sandi dan membujuk Tasya secara perlahan.
“Hei, kau baik-baik saja?” tanya Kiel ke gadis di hadapannya yang masih berjongkok dalam diam.
Tidak ada respon selama beberapa menit sampai akhirnya Kiel mendengar isakan tangis, awalnya terdengar pelan tetapi lambat laun mulai mengeras. Tidak ada yang bisa Kiel lakukan selain menemaninya sampai gadis itu bisa menenangkan dirinya sendiri.
“Maafkan aku, seharusnya aku bisa menjagamu,” kata Kiel.
Butuh waktu hampir setengah jam ketika Tasya berhasil menenangkan diri, gadis itu meraih uluran tangan Kiel dan tidak mengatakan apa pun ketika anak lelaki itu memapahnya ke mobil milik Sandi. Mereka pun kembali ke kediaman Pramudya ditemani oleh dua paman Kiel sedangkan anak lelaki itu duduk di samping Tasya, tetap mengawasi keadaan gadis tersebut. Selama perjalanan, gadis itu hanya menatap jendela dengan pandangan kosong. Garis bekas air mata masih terlihat jelas di kedua pipinya dan tubuhnya terlihat sangat kaku.
Sesampainya di kediaman Pramudya, Kartini dengan sigap menghampiri mereka dan membawa Tasya menuju kamar sedangkan Kiel masih mengobrol di teras bersama kedua pamannya.
“Mobil Sunardi Pramudya akan dibawa pulang oleh Pak Sandi, jadi tolong berikan kuncinya kepadaku,” kata salah satu bawahan Sandi.
“Lalu segera melapor kepada Tuan Garrick setelah selesai mengurus Tasya, jangan lupa untuk menjelaskan kejadian tersebut kepada Sunardi,” lanjutnya.
Kiel bergegas menuju kamar Tasya setelah menerima perintah dari pamannya dan anak lelaki itu membantu Kartini untuk menyiapkan air hangat dan obat-obatan. Jika melihat kondisi Tasya, memang tidak ada luka serius pada tubuhnya tetapi Kiel tahu bahwa gadis itu terluka di dalamnya.
“Nak Kiel, mohon bantuannya untuk menjaga Nona Tasya. Bibi akan menyiapkan air untuk mandi,” kata Kartini.
“Oke, Bibi,” balas Kiel.
Tidak ada interaksi antara dirinya dan Tasya, anak lelaki itu bahkan tidak melakukan apa pun untuk membuat gadis di hadapannya tenang. Tak lama kemudian akhirnya Tasya pun angkat suara untuk pertama kalinya sejak kejadian tadi.
“Maafkan aku,” katanya.
“Enggak, seharusnya aku yang minta maaf. Andai saja aku bisa bergerak lebih cepat, andai saja aku enggak lalai. Mungkin kejadian seperti ini enggak pernah ada,” balas Kiel.
“Ezekiel—“
“Ya?”
Nama itu. Nama yang menggelitik tubunya dan membuatnya merasa tidak nyaman ketika ada orang yang memanggilnya secara lengkap seperti itu. Tetapi kali ini pengecualian, suara yang diucapkan oleh Tasya terdengar lirih dan putus asa—suara jeritan dalam hati yang pernah di rasakan oleh Kiel beberapa tahun sebelumnya. Suara menyesakkan yang terasa familiar, membuat Kiel semakin mual ketika membayangkannya.
Tahan, tahan batin Kiel.
“Aku merasa bersalah karena bersikap seenaknya, seharusnya aku mendengarkanmu. Aku enggak menyangka akan terjadi hal seperti ini,” kata Tasya.
“Ah—“