Just Friend's Scenario

Vina Marlina
Chapter #15

Di Antara Dua Janji

Harus Kirana akui, Adimas itu sangat perhatian. Buktinya, cowok itu rela balik lagi ke ruko demi menjemputnya ke kampus, setelah Kirana mengadu lewat chat. Angkot yang dituju tak juga muncul.

Namun, tetap saja...

Banyak orang bilang, cinta itu butuh pengorbanan. Akan tetapi, melihat dua lembar sepuluh ribuan di tangannya sekarang, Kirana mulai bertanya-tanya. Sebenarnya ini bukti cinta... atau subsidi makan siang?

Di parkiran kampus, gadis itu berdiri terpana, menatap recehan yang baru saja disodorkan oleh Adimas, suaminya-dengan sangat percaya diri, seakan-akan itu solusi segala masalah hidup.

"Ini... buat apa, ya, Dim?" tanyanya, mendongak. Adimas sedang sibuk membantu melepaskan helm bogo pink dari atas kepala Kirana yang berhijab ringkas.

Sekitar lima belas menit lalu, Bunda sudah pulang dengan naik grab. Kang Fajri baru datang, setelah sempat menyalip pakai motor ke kampus. Di ruko, Yasser tengah bersiaga di balik monitor kasir. Musik instrumen menggema dari speaker, dan balon warna-warni menghiasi papan nama Sagala Aya Store. Medi sudah beraksi dengan mic, suaranya lantang menawarkan promo: "Beli dua, dapat tiga! Spesial hari ini aja!"

"Duit jajan," jawab Adimas enteng.

"Soto langganan kamu semangkuk sepuluh ribu. Es teh lima ribu. Sisanya buat naik angkot pulang, atau tinggal kabarin, aku jemput. Cukup, kan?"

Kirana melipat alis. Cukup, sih. Tapi...masalahnya bukan itu.

Ia tak terbiasa bawa uang mepet ke kampus. Gimana kalau mendadak mau beli cat akrilik? Atau mampir ke toko alat lukis? ATM, mah, jauh. Males, ah.

Tanpa peringatan, Kirana merogoh saku celana jeans Adimas.

"Eh, ngapain kamu?!" Adimas panik tapi ia telat satu detik.

Kirana sudah keburu membuka dompet, menyergap selembar seratus ribuan di dalamnya, lalu langsung kabur setelah menyisipkan balik dompet kulit itu ke tangan pemiliknya.

Sambil berlari, Kirana sempat-sempatnya memutar badan, menciumi uang merah itu dengan gaya dramatis, lalu berteriak, "Makasih, Masku! Sampai ketemu nanti!"

Adimas menggeleng-geleng. "Dasar, Kiki."

Namun, begitu Kirana menghilang di balik gedung Fakultas Seni Rupa, senyuman kecil muncul di wajahnya.

***

Kirana tiba di area pameran sambil celingukan. Di hatinya, ia berdoa penuh harap-semoga ada keajaiban. Bobby sakit perut kek, mimisan kek, asal jangan diajak ngobrol.

"Kiki!"

Debby melambaikan tangan dari balik meja pendaftaran. Rambut panjangnya dicepol asal-asalan.

"Jangan kemana-mana lo, ya! Kampus heboh sejak kemarin. Katanya Mr. Smith suka lukisan lo."

Kirana nyaris tak percaya. Ada cahaya kecil yang menyala di dadanya.

"Serius lo, Deb? Jangan becanda, gue lagi nggak kuat dikerjain."

"Serius, sumpah! Tapi tolong banget jangan ngilang terus! Hari ini tuh event penting. Gue tuh udah pengen nimpuk lo dari kemarin! Untung lo anaknya Pak Hambali, terus Ayangnya Bobby, anak-anak jadi pada nahan diri buat nggak gibahin lo."

Kirana mendesis. "Dih, siapa juga yang pacarnya Bobby..."

Sayang suaranya tenggelam dalam dentuman gamelan dari panggung utama. Mahasiswa seni tari sedang tampil dengan kostum dari bahan plastik dan koran bekas. Panggungnya semarak, penontonnya riuh.

Tak jauh dari situ, sepasang mata sipit mencuri-curi pandang.

Bobby.

Walau sedang pegang mic dan mengamati jalannya acara, matanya sempat menatap Kirana beberapa detik lebih lama dari seharusnya. Ada yang berubah. Pashmina hitam disampirkan santai di bahunya. Sederhana. Tapi manis.

Sejak kapan dia berhijab?

Seketika, otaknya memutar ulang kenangan beberapa hari lalu-gadis berhijab mungil dipeluk Adimas.

Wajah Bobby menegang.

Jangan-jangan... Kirana beneran serius waktu bilang mau putus?

Ia melirik jam. Dua jam lagi sebelum Mr. Smith naik ke panggung.

Beberapa meter dari panggung, Adimas dan Kang Fajri duduk di kursi plastik dekat gerobak bakso, leyeh-leyeh setelah seharian membagikan brosur Sagala Aya Store.

"Capek juga, ya, Kang," gumam Adimas.

Lihat selengkapnya