Sangat kalut, Kirana menyetop angkot pertama yang melintas di depan gerbang kampus. Baru saja tubuhnya terselip di antara penumpang, ia celingukan. Tatapan-tatapan asing membuatnya jengah. Ia buru-buru meminta sopir berhenti.
Aduh, gawat! Kirana merintih dalam hati. Ia baru sadar, air mata membanjiri wajahnya dan menjadi pusat perhatian.
Tak ada pilihan. Ia turun. Jemarinya cepat-cepat membuka aplikasi ojek online.
"Alamatnya sesuai aplikasi, Pak," ucapnya pada mamang ojek yang menjemput. "Tolong jangan banyak tanya, ya. Saya lagi sedih."
Sang mamang sempat tampak bingung, tapi mengangguk patuh. Syukurlah. Kirana ingin tenggelam dalam kesedihannya tanpa interupsi.
Jok belakang itu jadi saksi. Hari ini resmi menjadi hari paling sial. Otak dan bakat yang selalu ia banggakan rasanya percuma. Dalam hal cinta, ia tetap pecundang.
Kirana limbung. Tak bisa menakar perasaannya sendiri, juga menyesal setengah mati. Seandainya dulu tak seambisius ini mengejar mimpi, mungkin ia sudah berada di Pontianak, bersama orang tuanya. Tak perlu dipusingkan urusan patah hati.
Bodo amat dengan Bobby. Toh, kalau di Pontianak, mereka tak akan bertemu lagi. Cowok sempurna macam Bobby pasti cepat move on. Kenangan bisa pudar. Waktu akan menghapus semuanya. Kalau memang jodoh... takdir akan mempertemukan kembali, bukan dengan cara seperti tadi.
Dasar gue bedebah! Kirana menangis lagi. Menyakiti Adimas sebagai sahabat saja sudah keterlaluan, apalagi sebagai suami. Padahal, selama dua puluh tahun menjalin persahabatan, Adimas tak pernah sekalipun jahat padanya.
"Neng, udah nyampe."
Suara si mamang membetot kesadarannya. Kirana melongo menatap rumah bertingkat dua yang familiar.
Kediamannya sendiri.
Bego! Harusnya kan gue pulang ke ruko! Wajahnya ia tutupi dengan kedua telapak tangan. Duh...kacau!
"Dimas, gue kudu gimana, nih..." Tangisnya kembali pecah, luput dari kesadaran akan mamang gojek yang kebingungan menagih ongkos.
***
Petang itu, Adimas menatap ponsel dengan gelisah. Baru saja ia berpisah dengan Kang Fajri di gerbang kampus. Satu jam lalu, Medi mengabari bahwa Kirana belum pulang ke ruko.
Adimas sempat ingin menelepon Bunda, tapi takut malah bikin heboh.
Masa pengantin baru udah main petak umpet. Nggak lucu.
Apa Kirana lagi sama Bobby?
Ia cepat-cepat menggeleng. Enggak. Ia harus percaya Kirana.
Setelah memberitahu Medi bahwa ia akan pulang telat, Adimas memacu motornya ke Perumahan Siliwangi. Firasatnya mengatakan, Kirana pasti berada di rumahnya.
Langit sudah gelap. Azan Isya hampir berkumandang. Saat hendak memanggil Bunda, matanya menangkap pagar rumah Kirana yang sedikit terbuka. Lampu kamarnya di lantai dua menyala. Tanpa pikir panjang, Adimas menuju ke sana.
Saat pintu kamar terbuka, gulungan besar di atas kasur menjadi pemandangan pertama yang ia lihat. Selimut tebal membungkus tubuh Kirana. Adimas menghela napas lega-sedikit. Ia tahu, Kirana sedang tidak baik-baik saja.
Ia mengetuk pelan.
"Punten, Teh, barangkali lihat cewek saya? Mungil manis kayak anak SMA, tapi gitu-gitu udah kuliahan," celetuknya ringan.
Tak ada jawaban, hanya suara isakan tertahan.
Adimas duduk di pinggir ranjang. "Ki," panggilnya lembut. "Sebelum jadi suami, gue itu sahabat lo. Selamanya bakal gitu. Kalau lo butuh tempat cerita, kuping gue ada. Kalo butuh sandaran, bahu gue kuat. Gue ada buat lo."
Tangannya mengusap pelan kepala Kirana yang menyembul dari selimut. Namun, bukan ketenangan yang didapat, justru tangisan Kirana makin pecah.
"Huwaaaa... Kenapa lo baik banget, Dim?!"
"Kenapa mewek lagi, sih?" Adimas menarik selimut dari wajah Kirana.
"Maaf, Dim!" Kirana mencicit, berusaha menarik kembali selimut.
"Iya, gue maafin," sahut Adimas santai, tetap menahan selimut.
"Ih, gue malu. Gue lagi jelek!" Kirana memaksa.
"Gue tahu lo jelek. Tapi jangan ditutupin, nanti engap lo."