By...
Melihat gelagat mecurigakan Kirana, Adimas sudah paham tanpa perlu dikonfirmasi. Rupanya Kirana tadi keceplosan memanggil 'Bobby'...
Lelaki itu terus menyuap nasi goreng yang asapnya masih mengepul-ngepul.
Suapan demi suapan seolah jadi benteng pertahanan dari kekacauan yang berkecamuk di dalam kepalanya.
Peduli amat lidahnya terbakar. Yang penting, dia punya alasan untuk tak memulai pembicaraan.
Daripada yang keluar dari mulutnya nanti adalah kemarahan yang tak bisa ditarik kembali.
Masalahnya, mereka sudah suami istri. Kirana bukan orang asing lagi. Tapi sialan... Kenapa dia merasa diselingkuhi terang-terangan? Bukan oleh orang ketiga, tapi oleh harapan yang tak pernah ditepati. Seolah-olah belum cukup dia menahan panas hati seharian. Astagfirullahaladziiim.
Hati Adimas seperti nasi goreng ini. Panas, penuh bumbu, tapi tetap dia telan. Karena cinta, meski menyakitkan, tetap dia terima.
Sret... sret...
Bunyi spatula membentur wajan dari lapak angkringan menambah bising sunyi malam. Lampu bohlam kuning menggantung lemah di atas kepala mereka, memantulkan cahaya buram ke meja kayu kusam.
Udara malam mulai menusuk kulit, menyisakan embun tipis di permukaan gelas plastik isi teh manis.
Kirana mencuri-curi pandang ke arah Adimas di hadapannya. Berkebalikan dengan cowok itu, piringnya masih utuh tak tersentuh. Perutnya sama kosongnya dengan keberanian yang ia kumpulkan sejak tadi.
Setelah beberapa lama saling membisu, akhirnya ia memberanikan diri mengubah keadaan. Tangan mungilnya bergerak mencolek-colek tangan Adimas yang bebas sendok.
"Diiim, maaf. Tadi aku keceplosan. So sorry..." cicitnya. Kali ini menarik-narik lengan hoodie Adimas pelan, seperti anak kecil yang tahu ia bersalah.
Adimas mengerling Kirana sekilas sebelum menarik lepas lengan hoodienya. Pura-pura ingin mengambil minum.
Dia tahu Kirana mencoba. Tapi kenapa rasanya... belum cukup?
Kenapa dia masih merasa sendiri dalam hubungan ini?
Kirana menghela napas. Adimas mode ngambek. Gimana cara bujukinnya? Jika dulu ada adegan begini, dia pasti bakal menggebrak meja dan balik melontarkan celetukan sinis seperti:
"Ooooh, jadi kayak gitu cara main lo. Mau menabuh genderang perang?! Siapa takut. Lo jual, gue beli!"
Hhh.... Gila aja kalo sekarang gue mesti begitu ke suami sendiri, Kirana mengembuskan napas kesal. Tanpa sadar menggaruk-garuk kepalanya yang berbalut pashmina.
Adimas kembali melirik. Memperhatikan bagaimana hijab Kirana bergeser miring, sedikit menampakkan bagian rambutnya. Mengesah pelan, ia menjulurkan tangan dan memperbaiki hijab Kirana supaya kembali rapi.
Gerakan refleks itu, sekecil apapun, membuat hatinya perih. Karena ia tahu—tangannya lebih cepat bergerak daripada hatinya menerima kenyataan.
Setelah itu, Adimas kembali menekuri makan malamnya seolah tidak terjeda.
Kirana yang sempat sumringah, menyangka Adimas sudah memaafkan pun kembali cemberut. Perasaan bersalahnya semakin menggurita. Mata Adimas saat mereka beradu pandang barusan... kentara sangat terluka. Kirana jadi ingin menangis.
Kecanggungan di antara sejoli itu menguar seperti uap dari penggorengan. Hangat tapi menyiksa.
Nasi di piring Adimas sudah tandas ketika Kirana bangkit dan menghampiri bapak penjual nasi goreng angkringan.
"Berapaan, Pak?" tanyanya lesu, seraya menyelipkan tangan ke saku celana. Namun, hatinya mencelos karena baru tersadar. Uang dua puluh ribu satu-satunya sudah habis terpakai ongkos ojek!
Mampus, gue... Kirana terkesiap. Mana dompet berisi ATM miliknya ketinggalan di ruko.
Semua adegan itu tak luput dari pengamatan Adimas. Ia bisa memahami bahasa tubuh Kirana seperti membaca novel terbuka. Ia juga tahu... halaman-halaman itu belum mencantumkan namanya sebagai tokoh utama.
"Biar nanti saya yang bayarnya, Pak. Isteri saya juga belum kelar makannya," sahutnya sambil menghampiri Kirana dan menarik tangannya, membimbingnya duduk lagi di kursi kayu panjang.