Kirana menunduk pelan, seolah takut embusan napasnya membangunkan lelaki yang tengah terlelap di ambang subuh.
Lampu tidur menyala temaram dari sudut kamar, menyorotkan siluet tenang di wajah Adimas. Napasnya teratur. Damai. Seperti anak kecil yang akhirnya bisa tidur setelah diam-diam menangis kelelahan.
Kirana memandangi lama.
Ada sesuatu yang berdenyut di dadanya-bukan gemuruh, tapi cukup membuat napas tercekat. Rasa asing yang tak dramatis, namun nyata.
Adimas memang tak berkata apa pun tentang kejadian hari ini. Tapi sorot matanya... cukup mengatakan segalanya.
Benar. Ini pertama kalinya Kirana melihat Adimas begitu terluka. Atau... jangan-jangan selama ini ia baru menyadarinya?
"Gue baru tahu... ternyata bisa sesakit ini lihat lo kecewa, Dim," bisiknya. Lirih. Penuh sesal. Terutama setelah teringat adegan pelukannya dengan Bobby tadi siang.
Ugh. Istri macam apa yang lupa status pernikahannya sendiri? Keterlaluan.
Malam hampir usai. Kirana menyentuh ujung lengan kaus Adimas pelan, sekadar memastikan ini bukan mimpi.
Lelaki yang dulu hanya sahabat paling ngeselin itu... kini berada di ranjang yang sama. Di hidup yang sama.
Tanpa cinta.
Atau... belum?
"Kalau lo denger, pasti udah nyindir, 'Kiki lebay akut stadium akhir.'" Kirana tersenyum miris. "Tapi serius, Dim... gue juga nyesek. Gimana sih, nyesek tapi nggak bisa ngutarain? Maafin, ya."
Adimas tetap diam. Separuh wajahnya tenggelam dalam bayang.
Kirana menggigit bibir. Matanya terasa memanas. Ia kembali berbaring dan menarik selimut hingga pundak, tapi jarak itu tetap terasa. Satu kasur, tapi seperti dua kilometer.
Beberapa detik membeku. Lalu, suara serak itu memecah keheningan.
"Apa lo selalu ngelantur kayak gini tiap malam?"
Kirana nyaris melonjak. Pupilnya membesar. "Lo... kebangun?"
Adimas membuka mata. "Nggak. Gue ngobrol sambil mimpi."
Refleks, Kirana melempar bantal ke arah lelaki di sampingnya. "Dimas!"
Tawa kecil pecah. Serak, tapi hangat. Tak lama, suara itu reda, digantikan tatapan kosong ke langit-langit.
"Adinda Kirana Larasati."
Kirana menoleh. Ia tahu benar, Adimas selalu memulai dengan nama lengkap saat ingin bicara serius.
"Hm?"
"Anggap ini pengandaian, ya... Menurut lo...," ucap Adimas, wajahnya tetap datar, tapi nadanya ragu, "apa kita bisa mulai semuanya dari nol? Tanpa mikirin status sahabat. Tanpa embel-embel apapun."
Kirana terdiam. Sorot matanya jernih, tapi rahangnya mengeras. "Kayak dua orang asing yang baru mulai saling kenal?"
Sunyi kembali menyusup. Tapi bukan sunyi yang canggung. Lebih seperti pelukan dari kejauhan.
"Iya. Siapa tahu... lo bisa naksir sama gue nantinya." Adimas duduk, bersandar ke kepala ranjang.
Kirana tersenyum tipis. "Padahal baru beberapa jam lalu lo usulin friendship marriage. Kok malah ngomongin naksir-naksir."
Adimas terkekeh. "Setidaknya, yang gue usulin bukan jenis hubungan yang toxic."
Mereka kemudian terdiam. Tapi tak saling menjauh.
"Jangan dari nol atuh," ucap Kirana. "Nol itu kosong. Kita bisa mulai dari satu. Karena kita bukan orang asing. Kita cuma lagi nyusun ulang semuanya. Pelan-pelan. Nggak buru-buru, tapi juga nggak kabur."
Adimas menoleh. Matanya melembut. "Nih anak... ngomongnya udah kayak anak filsafat."
Kirana menyeringai. "Tapi masuk logika, kan?"