Just Friend's Scenario

Vina Marlina
Chapter #19

Lika-Liku Grand Opening


Kadang cinta nggak butuh bunga. Kadang cukup bilang: “Udah, naik. Istirahat.” Dan kita langsung tahu—kita dicintai.

***

Pukul sembilan lewat lima.

Adimas dan Kirana baru tiba di ruko. Bukan karena malas, tapi Bandung dan kemacetan pagi hari memang seperti hubungan toxic—tak sehat tapi selalu ada.

Balon-balon warna-warni masih tergantung di pintu. Spanduk besar bertuliskan “GRAND OPENING! DISKON GILA-GILAAN!” melambai heboh, seperti menyapa dari kejauhan.

Dari balik rolling door yang setengah terbuka, suara riuh menyambut mereka. Ramai. Bahkan mengalahkan pasar malam takbiran.

Tanpa banyak cingcong, Adimas langsung menggenggam tangan Kirana. Menuntunnya masuk ke medan perang bernama hari banjir order.

Printer nota tiit-tiitt-tiiit tiada henti. WhatsApp Order Online ramai layaknya grup alumni angkatan 2007 yang baru sadar usia.

Yasser tampak khusyuk menekan tuts keyboard dengan wajah muram—seperti baru ditolak dua lamaran kerja dan satu akhwat gebetan.

Medi dan Kang Fajri entah di mana. Mungkin tertimbun kardus atau tersembunyi di balik rak sembako.

Mata Kirana membulat. Bercahaya seperti anak kecil masuk taman bermain.

Alih-alih pusing, dia malah tersenyum lebar.

Gue bakal betah di sini, gumamnya. Berantakan. Tapi hangat.

Belum sempat menarik napas, satu teriakan menyambut mereka.

“Wuih! Pengantin baru nongol juga akhirnya!” Yasser berseru dramatis. Muka yang tadi butek langsung bersinar.

Adimas hanya melirik ke mesin kasir. Struknya menumpuk macam gunung kecil. Tanpa komentar, ia langsung mengecek orderan di monitor.

Tiba-tiba Medi muncul dari balik rak dengan dua kardus mie instan menuju parkiran. Di belakangnya, Kang Fajri mendorong karung beras. Keningnya mengilap seperti stiker promo Beli 2 Gratis 1.

“Alhamdulillah Mas Dimas hadiiir!” Medi ngos-ngosan. “Tolong kami rakyat kecil ini! Bawa oleh-oleh nggak, abis bulan madu? Nasi padang kek?”

“Oleh-oleh mah nanti. Sekarang kita hadapi dulu ujian rumah tangga pertama. Kudu dagang pas lagi banjir orderan di fase honey moon.” Adimas menjawab santai.

Seketika, tawa semuanya pecah. Menertawakan nasib Adimas. Medi sampai terjongkok-jongkok. Yasser menunjuk Adimas sambil berteriak.

“Khusus pengantin baru, bakal dapet diskon nyusun telur retak dan belah kopi sachet deh!”

Adimas hanya tersenyum tipis. Sambil mencontreng orderan kos nomor tujuh, ia mengangkat satu per satu kardus ke motor.

“Bismillah. Ini cinta dalam sekarung beras dan dua dus minyak goreng. Insya Allah sakinah, mawaddah, warrahmah,” ucapnya.

Kirana hampir tertawa tapi juga terharu.

Kalau cinta versi Adimas seperti ini... ia rela dicintai tiap hari pakai sembako.

Kang Fajri menyeletuk sambil mendorong troli. “Masya Allah! Ini baru pasangan barokah. Med, biar saya aja yang nganter pesenan pelanggan. Sekalian mampir ke gang depan.”

Dia mengambil kunci motor dari Medi—yang menyerahkannya dengan gaya dramatis, seolah baru serah terima amanah negara. Tak lama, Kang Fajri pun menghilang, membawa serta setumpukan barang-barang.

Di tengah kekacauan itu, Kirana berdiri canggung di dekat rak sabun. Celingukan. Masih pakai kerudung pashmina kemarin dan jaket gedombrangan punya Adimas.

Gue jadi kayak boneka guling nyasar...

Gue bantuin packing, ya, Dim?”

Adimas bergegas mendekati Kirana, matanya menyipit.

“Naik aja ke atas.” Suaranya datar tapi serius. Mode kerja: aktif.

“Hah? Tapi gue—”

“Nggak usah ngeyel. Sana naik. Lantai dua kosong. Mau nonton drama, ngelukis, ngelamun, terserah.”

“Tapi kan gue juga bagian dari tim—”

Adimas menatapnya sebentar. Nadanya pelan, tapi mantap.

“Jadi tim yang sehat dulu, baru bisa kerja. Lo udah seminggu begadang ngerjain proyek. Rebahan aja.”

Lihat selengkapnya