Just Friend's Scenario

Vina Marlina
Chapter #20

Branding Syariah

Pukul 10 malam. Satu lampu neon di ruang belakang ruko menyala redup. Sisa lampu lainnya sengaja dimatikan buat menghemat biaya.

Keremangannya menyorot tumpukan kardus mie instan dan etalase kosong yang belum sempat dibereskan.

Bau kopi sachet dan sisa gorengan masih menggantung di udara, bercampur aroma plastik dan dus. Di tengah ruangan lumayan luas itu, sebuah meja lipat menjadi pusat komando darurat.

Empat laki-laki duduk melingkar dengan ekspresi kusut; bukan karena kurang tidur, tapi karena angka-angka di layar laptop yang mematahkan semangat.

Adimas, duduk paling tegak, mengetik cepat sambil mengerutkan alis. Medi, dengan badan besar dan suara berat khas Medan, duduk selonjoran sambil mengipas-ngipas pakai kalender bekas. Sesekali, ia mencolek sisa sambal di ujung wadah gorengan yang sudah dingin.

Yasser, si paling kalem (katanya) tapi paling rajin ngasih ide absurd, duduk miring, bersandar ke dinding. Ia terus mantengin feed Instagram toko mereka yang sepi interaksi. Matanya sayu, tapi masih semangat nyari celah viral.

Kang Fajri, ustadz sambilan merangkap kurir dan mentor, duduk bersila sambil mengelus jenggot. Wajahnya tenang, tapi sorot matanya curiga. Seolah penurunan omzet ini adalah pertanda kiamat kecil.

"Berdasarkan laporan hari ini..." Adimas angkat suara, suaranya datar tapi jelas memuat tekanan, "omset turun lima puluh persen H+7 grand opening."

Medi mengangkat bahu. Dalam hati mengakui, pantesan badannya nggak terasa seperti dibelah kapak lagi. Rupanya pesanan sedang menurun, toh.

Yasser menyodorkan HP-nya. "Coba liat feed IG kita. Stok sih bagus. Tapi foto-fotonya... kayak brosur pengajian ala canva non premium. Kayaknya ini yang bikin promo kita kurang maksimal. "

Semua menunduk, memandangi layar. Memang. Foto-foto produk mereka terlalu flat, terlalu 'aman'. Tak ada daya tarik visual. Tak ada unsur 'klik dulu baru dosa'.

Kang Fajri mengangguk pelan, sok filosofis. "Manusia itu suka melihat yang indah. Bahkan sahabat Nabi pun kagum oleh penampilan. Selama niatnya lurus, visual pun bisa jadi wasilah."

Mereka saling pandang.

Lalu serempak... menatap Adimas.

Yang paling jutek.

Yang paling ganteng di antara mereka.

Yang paling potensial buat dijadikan umpan like.

Adimas memicingkan mata. Menyadari arah pembicaraan sudah mulai melenceng.

"Jangan pada ngelihatin gue gitu dong," ucapnya curiga.

Medi langsung duduk tegak, matanya berbinar seperti baru menemukan iklan diskon beli satu gratis lima.

"Bener juga! Feed kita butuh sentuhan wajah si Dimas yang... yaaah, jutek-jutek syar'i gitu."

Yasser menimpali, setengah bercanda, setengah ngebet. "Dim, lo tuh udah kayak tokoh utama webtoon. Diam-diam mematikan. Sekali muncul, akhwat-akhwat pasti auto klik link di bio."

Kang Fajri mengangguk mantap. "Wajah kamu bisa jadi dakwah visual, Dim. Tapi inget, jangan sampe niatnya melenceng. Kita pasang caption yang ngingetin akhirat. Biar yang liat bukan cuma salfok, tapi juga istighfar."

Yakin pendengarannya mengelabuinya, Adimas memutar bola mata. "Kalian tuh beneran pengin promosi atau nyari masalah?"

Medi terkekeh. "Masalah itu kalau upload selfie setengah dada. Kita mah upload yang sopan. Pake jaket. Tangan di dada. Tatapan tajam kayak lagi ngajak hijrah."

Kang Fajri menyeletuk, "Latar belakangnya rak mie instan. Simbol perjuangan!"

"Ayolah, Bro, kau itu udah kayak pahlawan feed yang kita butuhin. Lihat nih," Medi merebut ponsel Yasser dan menunjukan IG toko mereka.

"Followers kita sepi. Jumlah like nyungsep. Kau satu-satunya cahaya di tengah grafik omzet yang gelap gulita ini." Nada suaranya mendadak di-setting penuh rayuan maut versi akhi waras.

Kang Fajri manggut-manggut sambil mengelus jenggot. "Tapi tetep niatnya harus lurus ya, jangan sampe niat selfie buat duniawi doang."

Adimas mendengus pelan, masih cuek tapi mulai goyah. "Jadi maksud kalian, gue disuruh jadi model?"

"Bukan sekadar model," jawab Medi mantap. "Kau wakil estetik toko kita. Wajah visual dakwah. Branding ala anak sholeh tapi jutek."

Supaya menambah bara, Yasser cepat-cepat menambahkan, "Tenang, outfit dijamin tetep sopan. Paling banter jaket hoodie item, gaya ala-ala anak pengajian urban. Caption-nya bijak. Kayak, 'Kadang, diam lebih kuat dari debat. Tapi diskon 50% lebih kuat dari keduanya.' Gitu."

Adimas pura-pura mikir. "Terus kalau followers nambah tapi yang komen kebanyakan akhwat, gimana?"

Kang Fajri tersenyum lebar. "Innamal a'malu bin niyaat. Segala sesuatu tergantung dari niat. Selama kita meniatkan hal ini sebagai upaya promo. Insya Allah, semoga nggak akan jadi fitnah. Kita akan langsung batasi komentar kalo nanti ada gelagat yang melewati batas. Biar semuanya tetap bisa menjaga pandangan, meski lewat layar."

Adimas terdiam seribu bahasa. Otaknya berpikir keras. Dalam dunia bisnis, segala hal harus diperhitungkan. Segala jenis strategi juga layak diperjuangakan selama tidak melanggar syariat.

Akhirnya setelah kira-kira beberapa menit yang rasanya seabad, Adimas pun berdiri. Masih dengan wajah datar.

Lihat selengkapnya