Adimas duduk bersila di atas tikar lusuh, dikelilingi kardus, bubble wrap, dan kesibukan yang nyaris tak berhenti. Tangannya lincah membungkus pesanan terigu, mentega, dan bahan-bahan kue lainnya.
Printer label berdetak pelan. Suara lakban bersahutan seperti denyut harian yang rutin, tapi tak pernah benar-benar membosankan.
Di luar, langit menggantung berat, mendung seperti perasaan yang belum sempat dibicarakan.
Kirana turun dari lantai atas, langkahnya pelan. Hoodie kebesaran dan pashmina dusty pink membuat penampilannya sederhana, tapi entah kenapa tetap mencuri perhatian. Ia berdiri sejenak di ambang pintu, menatap punggung Adimas yang tengah sibuk.
"Dim, gue berangkat dulu, ya." Suaranya lembut, seperti tak ingin mengusik pagi.
Adimas mengangguk, tak langsung menoleh. Ada sunyi yang menggantung sejak semalam. Ia tak bermaksud menjauh-hanya sedang berusaha menata hati. Sejak harapan itu muncul semalam, ia mulai takut menatap mata Kirana. Takut rahasia di dadanya bocor.
"Bawa jas hujan, nggak?" tanyanya akhirnya, masih menunduk.
"Bawa. Payung sama bekal juga. Lengkap, deh. Siaga bencana," jawab Kirana ringan.
Adimas menoleh sekilas, tatapannya menyimpan sesuatu yang tak bisa dijelaskan. "Hmm. Di kampus... Bobby masih sering nongol?"
Langkah Kirana terhenti. "Kadang. Kalau ada urusan sama dosen pembimbing. Tapi... gue anggap aja kayak background noise. Ada, tapi nggak penting."
Senyum tipis muncul di wajah Adimas. Ia kembali menggulung lakban, menyembunyikan reaksinya. Ia tak ingin jadi suami yang posesif. Ia ingin jadi seseorang yang Kirana bisa percaya, bukan seseorang yang mengekang.
"Kalau pulangnya kehujanan, japri aja. Nanti gue jemput."
Kirana menoleh, mengangkat alis. "Siap, Pak Suami Siaga."
Adimas pura-pura sibuk, tapi senyumnya tetap muncul. Tak lebar, tapi cukup untuk menghangatkan hati.
Kirana melangkah pergi. Tapi sebelum benar-benar membuka pintu, ia menoleh lagi. "Dim."
"Hm?"
"Terima kasih... buat semalam."
Tiga kata itu lirih. Nyaris tenggelam dalam pagi. Tapi cukup untuk membuat napas Adimas tertahan satu detik.
Lelaki itu mengangguk. Tak berani bicara, takut merusak makna yang sedang mereka jaga diam-diam.
Begitu pintu menutup dan langkah Kirana menjauh, dunia terasa kembali sunyi. Kardus dan lakban masih ada, tapi tak lagi jadi pusat perhatian.
Tentang semalam... Adimas memang sengaja tak bertanya apa pun. Tak menuntut penjelasan. Ia hanya duduk di samping Kirana. Sengaja memberi ruang supaya si gadis bisa berpikir. Mungkin, justru itu yang paling Kirana butuhkan.
Hening beberapa detik, sampai akhirnya terdengar suara berat dari arah rak minuman.
"Eh, Dim... 'terima kasih buat semalam' tuh maksudnya apa, ya?"
Medi muncul dari balik rak, wajahnya polos tapi penuh rasa ingin tahu.
Adimas melotot. "Lo nguping?"
"Enggak nguping, cuma... kupingku kan masih berfungsi," jawab Medi santai. "Secara kita serumah dalam ruko, ya... hak warga dong."
Dari meja kasir, Yasser berdiri dramatis. "Terima kasih buat semalam... wow. Saudaraku, apakah itu..."
"Yass! Diam nggak lo!" Adimas melempar gulungan lakban yang nyaris mengenai kepala Yasser.
Tawa pun meledak, memecah pagi yang semula sendu. Semua itu-tawa, kehadiran, perhatian yang tak diucapkan, gelagat Kirana-membuat harapan dalam dada Adimas menjadi semakin mekar.
Sementara itu, di sudut kampus tempat warna dan imajinasi bercampur...
Aroma cat minyak dan terpentin menguar samar dari ujung studio. Kelas Eksplorasi Media Seni Rupa hari itu terasa lebih lengang dari biasanya. Sebagian mahasiswa sibuk berkutat dengan proyek eksperimental masing-masing-ada yang mencairkan lilin, mengiris-iris karton, bahkan menempelkan daun kering ke kanvas bekas.
Kirana duduk bersila di lantai, kuas di tangan kanan dan botol plastik bekas teh manis di tangan kiri. Di depannya, sebuah panel kayu setengah jadi berdiri miring, berlumur warna-warna yang belum jelas bentuknya.
Debby datang sambil membawa kardus kecil berisi kabel, kain bekas, dan potongan CD rusak. Ia menjatuhkan dirinya ke lantai dengan gaya dramatis, tepat di samping Kirana. Hari ini rambut panjang ikalnya di cat blonde.