Di sebuah kantin dekat kampus, tepatnya di warung seblak legendaris yang jadi tempat pelarian dari tugas kuliah, patah hati, dan realita skripsi, Kirana duduk berhadapan dengan Debby. Bau kencur dan cabai yang menguar dari dapur membuat mata sedikit pedih, tapi bukan itu yang membuat Kirana ingin menangis.
Tempat ini jelas bukan habitat cowok-cowok macam Bobby, yang percaya salad dan infused water bisa menyembuhkan luka batin. Tapi bagi Kirana, seblak pedas level neraka adalah obat paling mujarab.
Dua mangkuk hampir habis. Debby masih menatap Kirana seperti sedang menonton episode sinetron prime time yang cliffhanger-nya kejam. Sampai akhirnya Kirana bicara.
"Gue nikah sama Adimas gara-gara Mami."
Debby meletakkan sendoknya. "Excuse me, what?"
Kirana mengaduk-aduk sisa kuah seblaknya, seolah mencari jawaban di antara sosis dan ceker yang nyaris ludes. "Mami maksa gue pindah ke Pontianak ikut Papi. Dia sekarang ngajar di sana. Tapi gue nggak mau. Gila aja harus ninggalin proyek Mr. Smith. Udah gue bangun dari nol."
Debby masih menunggu, alisnya naik sedikit.
"Akhirnya Mami ngasih syarat," lanjut Kirana. "Gue boleh tetap di Bandung... asal udah punya suami."
Hening beberapa detik. Lalu Debby menyipitkan mata, seperti sedang mengerjakan soal logika.
"Terus lo milih Dimas?"
Kirana menghela napas. Dalam.
"Iya, Deb. Kepepet. Coba lo pikir, siapa lagi cowok yang bisa gue seret buat nikah dalam waktu seminggu? Bobby? Dia nolak soalnya lagi fokus sama kariernya. Cowok-cowok kampus? Malesin. Drama semua, modalnya doang cinta-cintaan."
Kirana menunduk. Uap dari kuah seblak mengaburkan pandangannya, tapi bukan karena panas.
"Justru karena itu gue pilih Adimas," lanjutnya pelan. "Gue udah tahu luar-dalem dia. Dari zaman kita main sepeda, sampai sekarang dia jadi mahasiswa teknik paling jutek sekampus. Gue yakin satu hal. Dia cowok yang paling nggak bakal nyakitin gue."
Debby menggeleng pelan, setengah tak percaya. "Lo tuh gila. Tahu nggak..."
Kirana menyeringai kecil. "Tapi keren, kan?"
"Sedikit."
Namun senyum Kirana cepat memudar. Ada sesuatu di matanya yang tak bisa disembunyikan. Campuran ragu dan rasa bersalah.
"Kenapa muka lo kayak abis ketangkep nyontek? Jangan bilang lo nyesel nikah sama si Dimas?" tanya Debby, lebih hati-hati sekarang.
Kirana terdiam cukup lama sebelum menjawab.
"Nggak tahu, Deb. Jujur aja, gue kayak bangun dari mimpi dan sadar kalau gue udah main-main sama hidup orang lain. Demi ego gue sendiri."
Debby tak menyela. Tatapannya lembut tapi fokus, menyuruh Kirana melanjutkan.
"Gue bisa nyalahin Bobby sepuasnya. Tapi hati gue bilang, dia juga korban. Wajar banget dia nolak gue dan nganggep semua ini bercandaan. Karena ya... nikah itu buat seumur hidup, Deb. Dia punya mimpinya sendiri. Tapi tetep aja, kenapa gue harus nyakitin dia kayak gini?"
Setitik air mata akhirnya jatuh. Kirana buru-buru menyeka, seolah malu mengakuinya.
Debby menghela napas, lalu angkat bicara-pelan tapi penuh keyakinan. "Lo nggak nyakitin siapa-siapa, Ki. Lo cuma lagi belajar jadi manusia dewasa yang harus milih. Pilihan lo, mau gimana pun caranya, bikin lo tetap bertahan."
Kirana menatapnya. Matanya basah, tapi ada senyum tipis yang muncul di bibirnya.