Hujan baru saja reda, menyisakan aroma tanah basah yang merambat sampai ke sela jendela kamar. Suara hair dryer mendengung, memecah keheningan malam.
Kirana duduk bersila di atas kasur, rambut sebahunya masih lembap. Di belakangnya, Adimas berdiri serius seolah sedang memperbaiki mesin jet tempur-padahal cuma mengarahkan angin hangat ke rambut istrinya.
Pasalnya, jas hujan ponconya ternyata bolong, khususnya di bagian belakang. Alhasil, sesampainya di ruko, Kirana sudah basah kuyup. Jadi bisa dikatakan, Adimas sekarang sedang bertanggung jawab.
"Awas, jangan lama-lama di satu titik. Nanti rambut gue mekar kayak singa," omel Kirana sambil menoleh sedikit.
"Kalau mekar ya tinggal disisir. Nggak usah drama," sahut Adimas ketus, tapi tangannya menyesuaikan arah angin.
Kirana tersenyum geli. "Istrimu ini rambutnya sensitif. Lebih sensitif dari perasaan lo waktu ditinggal Bunda ke luar kota."
"Ngaco." Adimas mencubit pelan pipinya.
"Tapi gimana, gue udah berbuat semaksimal mungkin sebagai suami ideal, kan?" gumam Adimas, serius tapi sok pamer.
Kirana melirik dari balik bahu. "Tapi lo lupa nyediain jahe anget. Skor suami ideal turun jadi... delapan koma tiga."
"Protes mulu nih anak." Adimas memutar matanya, tapi senyum kecilnya nggak bisa disembunyikan.
Ponsel Kirana tiba-tiba bergetar di atas nakas. Layarnya menyala terang dengan tulisan: Mami Calling... via video.
Kirana nyaris menjatuhkan handuk kecil di pangkuannya. "Astagfirullah, Mami!"
Adimas langsung mematikan hair dryer dan melompat ke sisi lain kamar supaya tak tersorot kamera. "Sisir dulu gih! Rambut lo kayak abis kena puting beliung!"
"Lo juga masih pake singlet tahu, Dim. Mana bolong pula!"
Sebelum sempat siap total, Kirana sudah keburu menekan tombol jawab dan membalik kamera ke wajahnya.
"Sayang!" seru Mami ceria dari layar. "Kok rambutnya masih basah?"
"Tadi kehujanan dikit habis ngampus. Ini lagi dikeringin kok..."
"Pakai hair dryer, ya?" Papi muncul di sebelah mami sambil menyipitkan mata. "Si Dimas bantuin?"
Kirana menyeringai sambil menahan geli, lalu menjulurkan tangan ke belakang untuk mencubit betis suaminya.
Adimas yang sejak tadi menyelinap di pojokan, akhirnya menyerah. Ia menyembul dari balik bahu Kirana dan melambai canggung. "Selamat malam, Mami... Papi..."
"Oh, romantisnyaaa!" Mami berseru. "Baru nikah, udah saling keringin rambut! Dulu Papi juga suka bantuin Mami, lho..."
"Pakai kipas angin," sela Papi ketus dan memelototi menantunya. Rupanya masih belum bisa mengiklaskan anak gadisnya.
Kirana dan Adimas saling melirik. Diam-diam, mereka kompak mengelus dada.
"Eh, tapi beneran deh..." Mami mencondongkan wajah ke layar. "Kapan kalian kasih Mami cucu?"
Kirana keselek air liurnya sendiri. "Mi!"
Adimas refleks duduk tegak, ekspresi nya berubah jadi mirip siswa baru dipanggil kepala sekolah.