Kirana menarik selimut hingga dagu, tapi tubuhnya masih menggigil. Efek dari drama jas hujan ponco bocor rupanya belum usai.
Ia masuk angin. Maag-nya kambuh. Siang tadi hanya sempat makan sedikit, lalu dihajar seblak pedas level neraka, dilanjut hujan-hujanan. Untung, asmanya tidak ikut kambuh.
Sekarang, angin yang menyusup dari ventilasi kamar pun terasa seperti musuh. Seolah tahu betul di mana titik rapuh tubuhnya. Membuat perutnya mulas, kepala berdenyut, dan pikirannya melayang entah ke mana.
Ia menarik napas pelan. Dingin memang selalu terasa lebih menusuk saat hati sedang kesepian.
Entah sudah berapa kali ia mondar-mandir ke kamar mandi malam ini. Empat? Lima? Rasanya lebih. Setiap langkah terasa seperti menyeret tubuh yang bukan miliknya sendiri.
Biasanya, saat begini, Mami akan datang membawa minyak kayu putih dan tangan hangat.
“Udah, tiduran. Biar Mami kerokin.”
Lalu akan terdengar suara khas sendok mengaduk teh di cangkir bunga sakura kesukaannya. Teh manis hangat dengan madu, takaran pas, resep istimewa dari Mami.
Tapi sekarang? Kirana menatap langit-langit kamar.
Kosong. Sepi.
Segalanya harus ia lakukan sendiri—mencari minyak kayu putih di tas, mengelus punggung sendiri, menyeret kaki ke dapur dengan tubuh menggigil. Bahkan, teh manis racikannya terasa hambar.
Cemberut, Kirana duduk di ujung ranjang. Selimutnya melorot ke lantai, tapi ia tak peduli. Air mata turun pelan, bersama isakan kecil yang tak bisa ditahan.
Sebenarnya, ia ingin sekali bilang, “Dim, gue sakit. Temenin...”
Namun, suara tawa dan deru motor dari bawah menyadarkannya. Toko sedang ramai. Adimas pasti sibuk bersama kawan-kawannya.
Kirana tak tega mengganggu.
“Hiks... Mami... aku kangen...” bisiknya lirih, nyaris tak terdengar.
***
Sementara itu, di bawah, Adimas sedang menyusun dus minuman ke rak. Jelang tutup, toko tetap ramai. Mungkin karena malam minggu.
Ada yang menanyakan harga promo, ada yang minta dibantu mengangkat barang ke motor. Keringatnya mengalir, tapi ia tetap sigap.
Namun, tiba-tiba muncul rasa aneh. Biasanya, jam segini Kirana sudah muncul—bawa camilan, nyodor-nyodorin keripik, atau sekadar duduk di kursi kasir sambil nyanyi ngawur. Tapi malam ini sepi. Bahkan, suara TV dari atas pun tak terdengar.
Adimas menatap ke lantai dua. Pintu itu tertutup rapat.
Apa Kirana sudah tidur? Tapi kenapa perasaannya tak enak?
Maka begitu toko tutup dan briefing selesai, Adimas langsung naik ke atas.
Ia membuka pintu kamar pelan-pelan. Nampak Kirana tertidur dalam posisi duduk, cangkir kosong masih tergenggam, selimut terlepas ke lantai. Wajahnya pucat, bekas air mata masih membekas di pipi.
“Ki? Hey, Kiki?”
Adimas cepat-cepat mendekat, menyentuh kening Kirana. “Gila... panas banget...” gumamnya, terkejut.
Perlahan, ia ambil cangkir dari tangan Kirana, menarik selimut, lalu membungkus tubuh gadis itu. Tangannya singgah sebentar di rambut Kirana, mengusap dengan lembut.
“Harusnya lo bilang, Ki.”
Kirana mengerjap pelan, lalu membuka mata. “Gue nggak mau ganggu...” suaranya serak, lirih.
“Ganggu gimana? Gue bukan orang lain.”
“Tadi aja lo bilang di motor, kalau gue sakit, lo jadi repot...”
Kirana mencoba memasang wajah ngambek, meski tahu betul kalimat Adimas waktu itu cuma guyon.