Just Friend's Scenario

Vina Marlina
Chapter #27

Yang Hadir dan Bertahan

Kirana terbangun menjelang subuh. Di sampingnya, Adimas masih terlelap, wajahnya lelah setelah semalaman setia mengompresnya.

“Ah...” gumam Kirana pelan, malu-malu saat mengingat bagaimana Adimas merawatnya dengan telaten. Termasuk saat ia dengan kikuk mengerok punggungnya—jelas bukan keahlian Adimas, tapi ia melakukannya juga.

Perlahan, Kirana memiringkan tubuh menghadapnya. Ia menatap wajah tenang Adimas yang terpejam dalam tidur. Ada bayangan letih di bawah matanya. Rambutnya berantakan, seolah tak sempat memikirkan diri sendiri. Kirana, tampaknya, telah menjadi pusat segalanya malam itu.

Tersentuh, Kirana mengulurkan tangan, menyentuh jemari Adimas yang masih menggenggam kain bekas kompres. Ia teringat tubuhnya yang menggigil semalam, dan bagaimana Adimas tak beranjak sedikit pun, membisikkan kata-kata lembut sambil mengompres dahinya.

Kirana tersenyum kecil.

“Gue yang sakit, tapi lo yang paling lelah,” bisiknya nyaris tak terdengar.

Di luar jendela, langit mulai memudar dari hitam ke biru pucat. Tak lama lagi, cahaya subuh akan menyusup ke dalam kamar mungil yang rapi dan nyaman—khas Adimas.

Kalau menuruti hatinya, Kirana ingin terus larut dalam keheningan itu. Tak tega membangunkan lelaki yang memberinya kehangatan di malam paling dingin. Namun, adzan subuh akan segera berkumandang. Seperti biasa, suara “Asshalatu minan naum” dari Yasser akan menggema ke seluruh ruko dengan semangat berlebihan.

Kirana menatap wajah Adimas lekat-lekat. Pipi yang dulu chubby kini lebih tirus. Muncul kerinduan aneh yang menyelinap, mengingat masa kecil mereka yang sering tidur siang di kasur yang sama.

Dulu, Kirana sering mencolek pipi Adimas untuk membangunkannya. Sekarang, ia jadi tergerak ingin melakukannya lagi.

Terkikik kecil, Kirana mengangkat telunjuk dan dengan lembut serta ragu-ragu, menyentuh pipi lelaki itu.

Adimas menggeliat pelan. Keningnya berkerut, lalu matanya terbuka perlahan. Sorotnya masih buram, tapi begitu melihat Kirana di sampingnya, kesadaran langsung kembali.

“Udah bangun?” gumamnya, suaranya berat dan serak.

Kirana mengangguk, tersenyum lembut. “Iya. Kan sebentar lagi subuh.”

Adimas mengusap wajah, lalu setengah bersandar sambil menatap Kirana penuh perhatian. “Lo udah mendingan, Ki?”

“Udah,” jawab Kirana pelan. “Makasih, ya.”

Adimas mengangguk pelan, lalu meraih tangan Kirana yang masih terulur. Dengan setengah mata terpejam, ia mengecup punggung tangan itu. Lembut, khidmat. Seolah menyampaikan janji tanpa suara.

Kirana tersentak kecil. Suasana mendadak hening. Adimas pun tampak tersadar atas gerakan spontan tadi. Ia terkejut sendiri.

“A-aku bangunin Yasser deh,” ujarnya gugup, mencoba bangkit.

Kirana segera menahan lengannya. Tak mau Adimas terbangun mendadak lalu nantinya merasa pusing. " Jangan dulu. Sebentar lagi juga dia bakal jadi toa keliling.”

Mereka saling menatap, lalu tertawa kecil. Suara mereka pelan, seolah menghormati malam yang hampir habis. Tawa itu hangat, ringan. Tak butuh banyak kata, tapi cukup untuk membuat hati bergetar.

“Assalaaaaatu khairum... minannauuuuum! Wahai saudaraku, salat itu lebih baik daripada tiduuuur!”

“Tuh, kan!” sambar Kirana.

Teriakan Yasser terdengar dari lantai bawah, cempreng dan penuh semangat.

Adimas dan Kirana tertawa bersamaan.

“Gue ke masjid dulu, ya. Daripada keburu disidak si Yasser.” Adimas turun dari ranjang. “Mau dibawain sarapan apa? Nasi kuning?”

Kirana mengangguk pelan. “Nasi uduk aja, ya. Tapi sekalian sambalnya, biar pedesnya berasa.”

Adimas tersenyum, mengangguk. Tapi saat hendak pergi, ia berbalik.

“Eh, Ki. Jangan dulu makan sambel. Lo kan baru diare semalam.”

Kirana manyun.

Melihat itu, Adimas tak tega. “Sambal tomat aja, ya... cuma buat hari ini. Demi si sakit.”

Nada suaranya seperti membujuk anak kecil ngambek. Telunjuknya mengacung ke atas. Membuat Kirana tertawa.

“Baiklah, Pak Dokter. Hari ini aja, aku rehat sambel.”

Setelah Adimas pergi, Kirana menarik selimut lebih rapat, matanya menatap langit yang mulai berwarna jingga dari balik jendela. Ia sedang haid, jadi tak ikut salat. Tubuhnya masih lemas, tapi hatinya... hangat.

***

Hari itu, Kirana izin tak masuk kuliah. Selain masih sempoyongan, kelas cuma setengah hari dan suaminya—yang overprotektif—sudah membujuk dengan roti sidodadi favoritnya lewat GoFood agar ia tetap di rumah.

Lengkap sudah alasannya.

Lihat selengkapnya