Pagi itu, ruko dua lantai tempat mereka tinggal belum sepenuhnya terbangun dari sunyi. Aroma roti panggang dan lelehan keju memenuhi udara, menyelinap di antara meja kayu dan rak-rak yang berderet rapi.
Adimas berdiri di dapur kecil yang dulunya kamar Medi. Tangannya cekatan menyusun sandwich seadanya—dua lembar roti gandum, irisan tomat, telur dadar setengah matang, dan sisa keju terakhir. Bukan sarapan istimewa, tapi cukup untuk mengganjal perut Kirana di jalan.
Langkah Kirana terdengar keluar kamar. Pelan, sedikit ragu. Ia sudah rapi dengan jaket kampus dan tas selempang di bahu, tapi wajahnya menyimpan gelisah. Sejak pagi, matanya tak lepas dari jam tangan dan layar ponsel.
Tanpa menoleh, Adimas menyodorkan sandwich yang dibungkus kertas minyak.
“Sandwich-nya nggak spesial, tapi kayaknya cukup biar lo nggak masuk angin.”
Kirana mengangguk kecil dan menerimanya. Diambilnya juga botol minum dari rak dan memasukkannya ke dalam tas. Tangannya sempat meremas tali tas beberapa kali.
Adimas tak melewatkan adegan itu. Ia melirik. “Pagi-pagi udah gelisah. Ada ujian mendadak?”
“Enggak...” jawab Kirana pelan. "Cuma... ada perlu.”
“Perlu apa sih, sampai dari tadi mondar-mandir?”
Kirana tersenyum kecil. Tipis, seperti menahan sesuatu. Ia merapikan tas, lalu melangkah ke pintu.
“Gue jalan dulu, ya. Nanti siang mungkin pulang telat.”
Adimas terdiam sejenak. “Mau ketemu orang?”
Langkah Kirana terhenti. Bahunya menegang sesaat. “Iya.”
Pintu ditutup pelan. Adimas tetap berdiri, memandangi pintu yang kini diam. Di tangannya, ada sisa sandwich yang belum sempat dibungkus. Wajahnya tenang, tapi matanya tak bisa menyembunyikan kerapuhan.
Kirana sedang menyembunyikan sesuatu, ia tahu. Lewat sikap gelisah dan keheningan tak wajar akhir-akhir ini. Tapi Adimas tak mau berasumsi. Biarlah nanti Kirana yang mengatakannya sendiri.
***
Langit Bandung mendung, seolah tahu akan ada percakapan berat hari ini.
Beberapa hari sebelumnya, Kirana meminta Debby—sahabatnya di BEM sekaligus rekan Bobby—untuk menyampaikan janji temu.
Usai keluar dari lab seni rupa, Kirana berdiri di bawah pohon ketapang di sudut fakultas. Jaket abu-abu, celana hitam sederhana, pashmina favorit melilit leher. Wajahnya polos, tapi matanya penuh tekad.
“Ki...” Suara itu datang dari arah parkiran.
Mengenakan kemeja rapi, celana katun dan rambut sedikit lebih panjang, Bobby hadir dengan mata yang menyimpan luka.
Nyali Kirana menciut. Ia segera menatap ke arah lain, menenangkan napas yang mulai tak beraturan.
Mereka berdiri berhadapan dalam diam. Tak ada pelukan. Tak ada senyum basa-basi. Semua itu cukup untuk menyayat luka Bobby.
“Aku nggak tahu kamu bakal beneran datang,” ujar Bobby pelan.
“Kalau nggak diselesaikan, kita akan terus diganggu masa lalu,” jawab Kirana tenang.
Bobby berjengit mendengar kalimat itu, sebelum mengangguk. “Kamu kelihatan... beda.”