Just Friend's Scenario

Vina Marlina
Chapter #29

Tempat Kita Pulang

Suara bel pintu berdenting pelan.

Lantai satu ruko yang biasanya riuh oleh suara kardus dan printer label, siang itu agak padat. Kang Fajri sibuk mencatat resi. Yasser dan Medi tengah ribut memilih bubble wrap dan kantong keresek paling estetik untuk orderan edisi Hari Pendidikan Nasional.

Adimas baru saja meletakkan semangkuk mi rebus—favorit istrinya—di meja dekat kasir, ketika pintu terbuka.

Kirana berdiri di ambang. Wajahnya masih sembap, tapi matanya jernih. Tas selempangnya menggantung miring, napasnya belum sepenuhnya stabil. Tapi langkahnya mantap. Tanpa bicara, tanpa aba-aba, ia melangkah cepat ke arah kasir—dan langsung memeluk Adimas dari samping.

Pelukan erat. Diam. Seolah seluruh dunia lenyap, menyisakan degup jantung yang saling bersahutan.

Adimas pun membeku.

Tangannya masih memegang sendok sayur. Wajahnya refleks menoleh ke arah Kang Fajri yang terdiam dengan pena di udara, Yasser yang mematung sambil membawa gunting dan Medi yang melongo dari balik rak sembako.

“K-Ki...” bisiknya, pelan-pelan meletakkan sendok. “Ini... banyak orang.”

“Bodo amat,” gumam Kirana di dadanya.

Adimas menelan ludah. “Lo kenapa?”

“Ayo ke atas.”

Kirana melepas pelukannya perlahan, menggenggam tangan suaminya, lalu menariknya menuju tangga. Tak ada sepatah kata pun dari penghuni ruko. Hanya suara plastik jatuh dan desahan takjub dari Kang Fajri.

“Masya Allah…”

Kang Fajri tersenyum, menyaksikan dua juniornya masih terpaku. Wajah mereka penuh campuran bingung dan iri.

Dengan gaya bijak, ia merangkul keduanya. “Sabar, ya. Sebentar lagi, insya Allah giliran kita bertiga yang romantisan.”

***

Di lantai dua, setelah pintu tertutup, Adimas masih berdiri kaku di sisi jendela. Napasnya naik turun. Bukan marah atau panik, hanya jantungnya belum kembali ke ritme normal.

Kirana duduk di bean bag, menatapnya lekat.

“Gue habis ketemu Bobby.”

Deg.

Adimas ikut duduk di sebelahnya. Tak bicara, hanya menunggu.

“Gue udah bilang semuanya. Tentang rasa yang udah lewat. Tentang lo. Tentang gue yang udah selesai nunggu.”

Masih hening. Tatapan Adimas tak lepas dari Kirana.

“Tadi gue bilang… gue udah milih lo.”

Kata-kata itu jatuh seperti hujan pertama setelah kemarau panjang.

Adimas membuka mulut, lalu menutupnya lagi. Tak ada kata keluar. Ia hanya mengangguk kecil, lalu menggenggam tangan Kirana erat-erat.

“Maaf ya, tadi pelukan di depan orang-orang,” bisik Kirana. Matanya berkedip cepat menahan sisa tangis.

Adimas terkekeh pelan. “Gue kaget. Kirain lo abis tabrakan.”

Kirana ikut tertawa, lelah tapi merasa lega. “Kayaknya emang baru nabrak masa lalu… dan berhasil keluar hidup-hidup.”

Adimas mengusap punggung tangannya, lembut. “Selamat datang.”

Lihat selengkapnya