Langit di luar masih gelap. Angin dingin Bandung menyusup perlahan dari celah ventilasi, menyentuh kulit seperti tangan yang enggan membangunkan.
Alarm ponsel Kirana berdering pelan, nyaris malu-malu tapi cukup untuk membuatnya mengerjap dan menggeliat pelan di balik selimut tebal.
Ia menoleh. Adimas masih tertidur di sampingnya. Napasnya teratur, dan rambutnya yang biasanya klimis setiap pagi, kini berantakan lucu. Di bawah matanya ada bayangan lelah, tapi garis wajahnya terlihat damai. Bahagia. Lengannya melingkar di pinggang Kirana, seolah tubuhnya tahu bahwa pagi ini mereka harus berpisah barang sejenak.
Kirana menatap wajah suaminya itu beberapa detik. Ada keinginan untuk membekukan momen ini. Menyimpannya rapat-rapat di sudut hati yang paling hangat.
Ia menarik napas pelan, lalu menyentuh jemari Adimas yang masih menggenggam erat.
"Dim," bisiknya lembut. "Bangun... aku harus siap-siap ke kampus."
Yang ia dapat hanya gumaman kecil dan pelukan yang justru mengerat. Wajah Adimas tenggelam di punggung Kirana, napas hangatnya menyapu kulitnya. "Lima menit lagi..." lirihnya, dengan suara serak khas bangun tidur.
"Dim, serius deh. Aku ada kelas jam tujuh. Ujian juga. Belum sempat ngapalin..." Kirana menggoyang tubuhnya pelan, tapi Adimas tetap tak bergeming.
"Susulan aja, Ki. Sekali-sekali bolos. Kampus juga ngerti, kali," gumam Adimas malas.
Kirana terkekeh. "Kampus mungkin ngerti, dosennya belum tentu."
Tiba-tiba, dari lantai bawah, terdengar suara lantang yang familiar.
"Assalatu khairum minannaum... Assalatu khairum minannaum!"
Beberapa detik kemudian, suara langkah tergesa terdengar menaiki tangga.
Tok tok tok!
"Dimas! Maaf ganggu manten... Tapi, masjid nungguin imamnya. Giliran lo kan pagi ini," suara Yasser menggema dari balik pintu lantai dua.
Kirana menahan tawa. Adimas menghela napas panjang, seperti menyesali hidup, sebelum akhirnya melepas pelukannya dan bangkit. Rambutnya semakin mirip ayam habis dicabutin. "Astagfirullah, gue lupa."
Dengan mata setengah terpejam, ia berteriak ke arah pintu, "Yasss, sorry, tolong gantiin dulu. Gue belum... mandi!" katanya sambil menahan kuap.
Hening.
Lalu...
"ASTAGHFIRULLAH!!"
"Woy, tega-teganya ngumumin begituan di hadapan kaum jomblo!" seru Medi dari bawah. Suaranya serak dan penuh kaget, disusul batuk-batuk dramatis ala aktor FTV kehabisan dialog.
Kirana tak kuat. Ia menutup wajah dengan bantal sambil tergelak.
Adimas menepuk dahinya. Baru ngeh keceplosan. "Ya Allah, kenapa mulut gue jujur banget pagi-pagi begini."
Yasser terdengar shock. "Ya udah! Gue ke masjid duluan. Mandilah sono. Hadast besarnya masih nempel, noh!"
Langkah kaki itu menjauh. Kamar pun kembali tenang, kecuali tawa sisa-sisa yang masih menggantung di udara dingin.
"Demi apa, itu moment paling memalukan sepanjang karier gue jadi imam salat," gerutu Adimas sambil mengambil handuk di gantungan pintu.
Tapi sebelum ke kamar mandi, ia mampir ke ranjang. Kirana masih meringkuk sambil tertawa tertahan.
"Ki..." Adimas mengusap pucuk kepala Kirana pelan.
"Hm?"
"Kita sekarang udah resmi jadi couple halal, kan?"
Kirana menarik selimut ke atas wajah. Bayangan semalam muncul seperti kilasan. Pipinya memanas. "Iya..." jawabnya lirih.