Suasana ruko sore itu lengang.
Selepas makan siang, seperti biasa, hanya suara dari lantai bawah yang terdengar samar.
Denting botol galon, obrolan ringan Medi dan Yasser, tawa kecil pelanggan yang mampir sebentar ke toko. Ada aroma seduhan kopi sachet yang menguar pelan hingga ke lantai dua. Tanda toko tak terlalu ramai hari ini.
Di atas, di ruang TV yang juga merangkap ruang belajar darurat, Kirana duduk bersila di atas karpet abu-abu. Buku Seni Rupa terbuka di pangkuannya, penuh coretan pulpen dan garis highlighter kuning yang tinggal separuh batang. Di sebelahnya, iPad menyala redup, memutar suara dosen yang monoton. Kirana menyimak dengan serius.
Namun, semua fokus itu buyar oleh getaran halus dari ponsel di samping buku.
Layar menyala. Nama di sana membuat alis Kirana langsung mengernyit.
Mami
Panggilan masuk.
Jarang sekali Mami menelepon di jam seperti ini.
Kirana menggeser iPad, lalu menjawab pelan, "Halo, Mi?"
Suara Mami terdengar gemetar. "Kiki, Mami baru video call sama Bunda. Mukanya pucat banget, matanya sayu. Katanya lemas dari kemarin, tapi... nggak mau ke dokter."
Kirana langsung duduk tegak. Jantungnya mencelos.
"Cuma masuk angin, katanya?"
"Iya. Tapi kamu tahu sendiri Bunda gimana. Kalau sakit, selalu ditutup-tutupi. Mami nggak tenang. Mami nggak bisa ke Bandung sekarang..." suara Mami pecah. "Tolong jagain dia, ya, Ki. Tolong banget."
Tenggorokan Kirana kering. Terbayang senyum Bunda yang hangat, tangan lembutnya waktu menyuapi bubur saat Kirana sakit.
"Iya, Mi. Aku kasih tahu Dimas. Kita ke sana sore ini."
Setelah menutup telepon, Kirana turun cepat ke bawah. Medi sedang menyusun galon, Yasser di balik meja kasir menatap monitor. Di dekat pintu, Adimas berdiri dengan ponsel di tangan.
"Dim!" panggil Kirana dari tangga.
Adimas menoleh cepat. Wajah Kirana membuatnya langsung waspada.
"Ada apa, Sayang?"
"Bunda sakit. Lemas banget dari kemarin. Nggak mau ke dokter. Mami khawatir."
Wajah Adimas menegang. Rasa bersalah sebagai anak mulai merasuk. Kenapa ia sampai tidak tahu?
"Kita ke sana sekarang, ya. Kalau perlu, nginep," kata Kirana yang diangguki Adimas.
Lelaki jangkung itu menoleh ke arah Medi dan Yasser. "Gua cabut duluan. Urusan keluarga."
Medi melambai. "Santuy, Dim. Aman."
Yasser ikut mengangguk. "Hati-hati."
Kirana dan Adimas naik ke atas. Mereka bersiap cepat. Tas kecil, charger, jaket, air minum. Semua terasa mendadak, tapi penting.
Ketika keluar ke teras, langit Bandung temaram. Awan jingga menggantung malas, udara sore menggantung setengah dingin, setengah kosong.
Mereka tak sadar, sebuah mobil Fortuner hitam terparkir beberapa rumah dari ruko.
Dari balik kemudi, Bobby menatap mereka. Semenjak ia membuka flash disk Kirana tempo hari, ia membuntuti gadis itu usai kuliah.
Matanya menyipit saat Kirana keluar tergesa. Lalu Adimas menyusul, memakaikan helm pada Kirana dengan gerakan yang nyaris otomatis.
Bobby nyaris tak bernapas.