Tubuhnya lelah, iya. Tapi bukan berarti telinganya tak bisa menangkap suara.
Saat Kirana menaruh cangkir teh di nakas dan menyelimuti tubuhnya, Bunda hanya memejamkan mata. Bukan karena ingin tidur, tapi karena ingin mendengar lebih jelas suara mereka. Dua anak muda yang kini memanggil rumahnya sebagai rumah mereka juga.
“Baru kali ini aku lihat Bunda selemas ini,” suara Kirana terdengar pelan, tapi penuh gentar.
Bunda menahan senyum. Nada itu… seperti nada seorang anak yang khawatir, bukan hanya menantu.
“Dulu waktu aku kecil, Bunda nggak pernah mau kelihatan sakit,” jawab Adimas. Suaranya seperti laki-laki yang tak hanya tumbuh dewasa, tapi juga belajar mencintai dengan tenang.
Hening sebentar. Bunda nyaris membuka mata, tapi menahan diri.
“Aku takut nggak cukup jadi menantu yang baik buat Bunda,” suara Kirana nyaris berbisik, tapi menusuk. “Takut Bunda bandingin aku sama perempuan lain… yang lebih dewasa, lebih bisa urus rumah. Aku takut, bukan karena Bunda galak—justru karena Bunda terlalu baik.”
Jantung Bunda mencelos. Ia nyaris ingin duduk dan memeluk Kirana saat itu juga.
Gadis itu benar-benar mencintai keluarga ini, bukan hanya Adimas. Dan rasa takut itu—takut tidak cukup—adalah ketulusan yang jarang ditemui.
“Kiki, dari dulu Bunda udah anggap kamu anak sendiri. Kamu nggak perlu jadi orang lain,” suara Adimas menenangkan.
Bunda menahan napas, mengerjap perlahan di balik kelopak mata. Hangat menyebar di dada. Rasanya seperti melihat benih yang dulu ia tanam, kini tumbuh menjadi pohon teduh.
Ia ingat saat Kirana kecil sering tidur siang di rumah ini, meninggalkan buku gambar di ruang tengah. Ia ingat suara tawa mereka dari halaman belakang. Suara yang sama kini hadir dalam bentuk baru—lebih dewasa, lebih dalam, lebih hidup.
Kirana membuka laci dan menemukan map lama. Bunda tahu isinya. Sudah lama tidak disentuh, tapi tak pernah tega membuangnya. Karena di dalamnya, ia menyimpan harapan Kirana seperti menyimpan mimpi anak sendiri.
Saat Adimas memeluk Kirana dan berkata, “Nggak usah selesai. Kita kejar bareng-bareng,”
Bunda tidak bisa menahan senyum tipis.
Ia tahu, mungkin tubuhnya melemah, tapi hatinya hari ini kembali penuh. Melihat anak dan menantunya saling menjaga, bukan hanya tubuh—tapi juga mimpi masing-masing.
Dan di dalam hatinya, ia berdoa:
Semoga kalian tak pernah lelah saling menjadi rumah.
Begitu suara langkah mereka menjauh ke dapur, Bunda perlahan membuka mata.
Matanya sedikit basah. Entah karena demam, atau karena kata-kata Kirana barusan yang terasa seperti selimut paling hangat.
Ia menoleh ke sisi ranjang, melihat termos kecil dan cangkir teh yang isinya tinggal separuh. Tangannya bergerak pelan, menyentuh cangkir itu, seolah ingin menyerap kasih sayang yang diam-diam dituang Kirana ke dalamnya.
Perlahan, ia duduk. Bersandar pada bantal besar di punggung. Pandangannya menerawang ke luar jendela, ke arah pohon mangga yang tak lagi berbuah sejak dua tahun lalu.
Tapi malam ini, hatinya seperti baru saja dipetik manisnya.
Bunda meraih ponsel dari laci nakas. Tangannya sedikit gemetar, bukan karena sakit—tapi karena tak sabar. Ia membuka daftar kontak dan mengetuk nama yang disematkan di paling atas.
Mami Kirana.
Beberapa detik kemudian, suara di seberang menyahut, “Halo? Sof? Gimana? Kirana udah sampai?”
Bunda tersenyum. Suara sahabat lamanya itu… selalu terasa seperti rumah kedua.