Just Friend's Scenario

Vina Marlina
Chapter #34

Go Public

Ruko tempat mereka bekerja perlahan sepi setelah lampu etalase dimatikan. Di ruang belakang yang sempit, empat lelaki duduk melingkar di sekitar meja kayu tua, ditemani gelas-gelas kopi sisa sore tadi dan beberapa bungkus gorengan yang tinggal remah-remahnya.

Kirana sedang jadwal menginap di rumah bunda Sofie. Semenjak beliau sakit tempo hari, akhirnya Kirana dan Adimas sepakat membagi waktu menginap. Empat hari bersama bunda, tiga hari di ruko.

Saat ini, Yasser selonjoran di lantai sambil memainkan tutup botol mineral, sementara Medi sibuk mengunyah keripik singkong yang tinggal setengah bungkus. Kang Fajri berdiri bersandar di ambang pintu, tangannya bersilang di dada, matanya tak lepas dari Adimas yang sedang menatap selembar kertas di tangannya dengan wajah bingung.

Proposal taaruf.

Surat resmi, rapi, lengkap dengan biodata, motivasi, dan lampiran surat dari wali akhwat yang tak dikenal. Masuk begitu saja lewat jalur teman dari teman, lalu sampai ke tangan Kang Fajri yang secara refleks langsung menyerahkannya pada Adimas tadi sore. Hanya karena sopan santun.

“Keren sih, Dim,” celetuk Yasser, suaranya ringan seperti biasanya. “Gue tuh udah lama ngarep dapet beginian. Tapi realitanya, yang nyangkut malah chat spam pinjaman online.”

Medi tertawa sambil menunjuk proposal itu. “Kalau kau nggak pake, bisa aku daur ulang nggak? Tinggal ganti nama, edit foto dikit…”

Adimas tertawa kecil, tapi wajahnya tetap canggung. Tangannya meremas bagian bawah proposal itu pelan, nyaris seperti sedang menahan sesuatu dari dalam dirinya.

“Lucu-lucuan kalian, ya,” gumamnya, separuh geli, separuh gelisah.

Fajri akhirnya bicara. Suaranya tidak keras, tapi tajam. “Dim, boleh tanya serius?”

Semua langsung diam. Udara terasa sedikit lebih berat.

Adimas mengangguk pelan.

“Emang kamu sama Kirana belum ada niatan buat jujur soal status kalian?” Fajri melanjutkan. “Kita bertiga tahu, kalian udah sah. Tapi orang luar? Mereka mulai bikin narasi sendiri. Spekulasi. Bahkan fitnah.”

Adimas menunduk. "Gue tahu, Kang. Gue juga ngerasa makin nggak nyaman. Tapi… itu permintaan Kirana. Dia bilang, setidaknya tunggu dia semester tujuh, waktu udah mulai nyusun skripsi. Baru kita bisa terbuka.”

Yasser dan Medi saling pandang. Mereka tahu betul sejak awal, Adimas dan Kirana melangsungkan akad secara sederhana. Hanya keluarga inti dan tetangga yang hadir. Tapi setelah berbulan-bulan, rutinitas Kirana yang sering keluar masuk ke ruko atau sekadar dijemput Adimas, mulai menimbulkan tanda tanya di kalangan teman-teman kampus dan lingkungan sekitar.

“Kami paham, Dim,” kata Medi, nadanya lebih serius dari biasanya.

“Tapi dari kemarin udah mulai muncul omongan. Yang bilang kalian FWB lah, yang nuduh kau terlalu ‘bebas’ buat ukuran ikhwan. Kita udah coba tahan dan lurusin. Tapi nggak semua orang mau dengar klarifikasi.”

“Gue sih siap terus pasang badan,” tambah Yasser. “Tapi kadang, sakit juga dengernya. Kirana anak baik. Lo juga. Nggak pantes dapet tuduhan kayak gitu.”

Adimas mengepalkan tangannya. Hatinya mencelos.

Dia tahu Kirana rapuh soal ini. Sekuat apapun tampak luar Kirana, dia tetap perempuan muda yang berjuang menjaga integritas di tengah lingkungan yang keras menghakimi. Mereka pernah sepakat untuk menyembunyikan dulu pernikahan mereka, demi menjaga fokus Kirana di masa kuliahnya. Tapi kini, kompromi itu mulai terasa mahal.

“Gue bakal omongin lagi ke Kirana,” ucap Adimas pelan. “Gue juga udah mulai merasa… ini bukan soal kenyamanan kita lagi. Tapi soal lindungin dia dari omongan yang nggak bener.”

Fajri menatapnya lekat-lekat, lalu mengangguk. “Itu yang paling penting, Dim. Lindungi dia. Jangan biarkan Kirana jadi korban dari kesepakatan yang kalian buat sama-sama.”

Sejenak ruangan hening. Lalu, seperti biasa, Yasser memecah suasana.

“Tapi serius, Bro. Proposalnya masih ada kan? Boleh dong gue bawa pulang buat inspirasi. Buat latihan gitu, gimana cara bikin proposal taaruf yang baik dan benar…”

Medi tertawa keras. “Kubantu desain brosur-nya deh. Tulisannya: Ikhwan berkualitas? Yasser jawabannya.”

Adimas hanya bisa geleng-geleng sambil ikut tertawa kecil. Tapi di balik tawanya, pikirannya sudah melayang jauh ke arah Kirana. Mungkin… memang sudah waktunya bicara ulang.

Lihat selengkapnya