Suara ketikan keyboard mendominasi ruang selling area yang kini berubah fungsi jadi markas skripsi darurat. Begitu rolling door toko ditutup, para personel minimarket langsung ancang-ancang mengambil posisi. Sebagai mahasiswa tingkat akhir, ketiganya memang tengah sibuk berjuang supaya bisa segera lulus.
Begadang jadi makanan sehari-hari. Nguber-nguber dosen pembimbing yang mendadak sulit ditemui, ditambah coretan revisian skripsi di sana-sini, adalah satu episode hidup yang tak hanya menguras mental tapi juga kesabaran.
Adimas duduk bersila di atas karpet, dikelilingi tumpukan jurnal ilmiah, diagram reaktor batch, dan laptop yang layarnya menampilkan simulasi HYSYS yang macet di titik converging.
Di sisi kanan, Yasser meringis melihat hasil perhitungan kalor entalpi yang tak seimbang. Sementara Medi, dengan ekspresi frustrasi, menatap layar software Aspen Plus yang tiba-tiba not responding.
"Bro, kalau konversi reaksi turun tapi yield naik, itu artinya apa?" tanya Adimas sambil mengacak rambut sendiri.
"Artinya elu lagi mimpi," sahut Yasser ketus. "Mana bisa yield naik kalau konversi turun? Kecuali ada reaksi samping yang lo abaikan."
Medi menimpali, "Atau mungkin kau masukin data suhu reaksi salah. Itu setting reaktornya aja beda sendiri!"
"Ya Allah..." Adimas memejamkan mata. Mengacak rambutnya lagi entah untuk ke berapa kalinya semalaman ini. "Gue cuma pengen lulus. Bukan jadi reactor whisperer."
Mereka kemudian sibuk berdebat. Membahas simulasi reaksi kimia seperti sedang jadi panelis di seminar internasional, padahal masih dalam kondisi kucel dan belum mandi dua hari.
Melihat ketiganya sudah mirip sisa-sisa eksperimen gagal, Kirana muncul membawa tiga gelas kopi panas dan sepiring biskuit Marie. Dengan langkah pelan, ia meletakkan semuanya di meja lipat di tengah ruangan.
"Makasih, Sayang. Sana cepat istirahat. Udah malem, nggak baik bertiga di sini sama para penyamun," kata Adimas, memberi kode dengan kepala, meminta Kirana segera ke atas.
"Iye, kan kau kepala banditnya!" tukas Medi, ketus, masih pusing mengurusi bab pembahasan yang tak kelar-kelar.
Dengan suara lembut tapi tegas, Kirana berkata, "Udah, kalian fokus skripsi aja. Ruko biar aku yang urus."
Serempak ketiga lelaki itu menoleh.
Adimas langsung menggeleng. "Nggak, Ki. Kasihan kalo cuma kamu dan Kang Fajri doang."
"Ya udah, panggil Kang Roni aja," usul Yasser. "Biar ada yang bantu jaga."
"Bener tuh!" Medi mengangguk setuju. "Lagipula Kang Roni kan senang kalau disuruh jagain toko. Ada alasan buat nongkrong lebih lama."
***