Just Friend's Scenario

Vina Marlina
Chapter #36

Yang Tak Mereka Tahu

Ibarat bola salju yang terus menggelinding, gosip tentang Kirana dan Adimas kian membesar. Tak lagi sekadar menyentuh ranah pribadi, kini sudah menyeret nama organisasi mereka masing-masing.

Pagi itu, langit mendung menggantung di atas kampus. Seolah mencerminkan suasana hati banyak orang.

Di ruang rapat organisasi COMMITMENT, atmosfernya membeku. Hanya bisik-bisik pelan, sorot mata saling bertubrukan, dan napas yang tertahan.

Sebuah ruangan sederhana. Karpet hijau tua menutupi lantai. Di dinding tergantung poster dakwah bertuliskan “Hidup Mulia dengan Islam” dan papan tulis penuh coretan program kerja. Lampu neon menggantung seadanya. Suasana hangat, namun terjaga khidmatnya.

Para ikhwan duduk bersila melingkar di sebelah kiri, sebagian bersandar ke dinding. Akhwat-akhwatnya duduk di sisi kanan, dipisahkan tirai kain biru muda. Jumlah anggota sekitar dua puluh orang.

Adimas duduk di bagian depan, sendirian. Wajahnya datar, namun matanya menyimpan letupan yang nyaris tak tertahan. Ia tahu hari ini akan tiba. Hari di mana ia harus membuka sesuatu yang belum siap ia ungkapkan. Tapi kabar yang beredar sudah terlalu jauh. Terlampau liar.

Rizal duduk tak jauh darinya, ketua organisasi sekaligus teman satu angkatan. Tapi pagi itu, nadanya bukan lagi nada seorang sahabat.

“Masalah ini sudah jadi konsumsi seisi kampus, Dim,” ujar Rizal, suaranya tenang tapi mengandung tekanan. “Gosip tentang kamu dan Kirana nggak cuma menyeret nama kalian. Sekarang organisasi juga ikut kena imbas.”

Adimas masih diam. Ruangan makin sunyi. Tak satu pun bersandar di dinding, seolah semua ikut menahan napas menanti ledakan yang tak terhindarkan.

“Yang bikin kami terpukul,” lanjut Rizal, “bukan cuma soal moral. Tapi... ini datang dari kalian. Orang yang kami banggakan. Apalagi setelah Kirana diumumkan dapat beasiswa ke Yale, dan kamu...”

“Dituduh menghamili dia,” potong Adimas. Suaranya dingin, nyaris tanpa emosi. “Itu yang kalian semua pikirkan, kan?”

Beberapa anggota saling berpandangan, canggung. Tak ada yang menjawab, tapi juga tak ada yang membantah.

Tiba-tiba, pintu terbuka. Pelan, tapi cukup mengejutkan. Yasser muncul dengan jaket yang masih setengah terbuka. Wajahnya serius. Ia melangkah ke depan setelah mengucapkan salam, tanpa basa-basi.

“Aku nggak bisa diam,” ucapnya lantang. “Adimas memang bukan tipe yang banyak cerita. Tapi aku nggak akan biarkan dia dihakimi tanpa kesempatan membela diri.”

“Yass,” Rizal berusaha menenangkan, “kami bukan mau menghakimi. Kami cuma butuh kejelasan.”

“Kalau niatnya cari kejelasan, dengar dari sumbernya. Bukan dari gosip lorong kampus!” seru Yasser, matanya tajam. “Kita ini komunitas, bukan pengadilan jalanan.”

Adimas menunduk. Di balik tenangnya, dadanya sesak. Tapi ia tahu, sudah waktunya bicara.

“Aku ngerti kenapa kalian kecewa,” katanya akhirnya, pelan tapi tegas. “Aku tahu semua ini terlihat seperti skandal. Tapi yang kalian nggak tahu adalah...”

Ia mengangkat wajah. Tatapannya tajam, namun lembut.

“Aku dan Kirana sudah menikah.”

Ruangan seketika membeku. Beberapa orang terpaku, mulut terbuka namun tak bersuara. Yang lain mengernyit, memastikan mereka tak salah dengar.

“Menikah?” tanya Rizal nyaris berbisik.

Adimas mengangguk. “Dua bulan lalu. Sah secara agama, legal secara hukum. Tanpa paksaan. Tanpa alasan darurat. Dan yang paling penting—tidak ada kehamilan duluan.”

Keheningan mengental. Baru setelah beberapa detik, terdengar helaan napas panjang dari barisan belakang. Entah karena lega, atau kaget.

“Kenapa disembunyikan?” tanya seorang anggota akhwat, suaranya bergetar.

“Karena itu keputusan pribadi,” jawab Adimas. “Kami sepakat untuk tidak menjadikan pernikahan ini konsumsi publik. Kami ingin fokus belajar, menyelesaikan tanggung jawab. Kami nggak mau pencapaian kami selalu dikaitkan dengan status pernikahan.”

Yasser bersandar lemas ke dinding, ekspresi lega mulai tampak.

“Sekarang kalian tahu,” ucapnya, lebih tenang. “Jadi, bisa kita hentikan mempermalukan orang atas dugaan yang bahkan nggak pernah terbukti?”

Rizal mengusap wajah perlahan, lalu menatap Adimas. “Kami kecewa... karena kamu memilih diam. Tapi kami juga salah. Karena terlalu cepat menyimpulkan.”

Adimas mengangguk pelan. “Aku juga minta maaf. Karena terlalu lama menahan kebenaran.”

Lihat selengkapnya