Kirana memandangi wajah Bobby beberapa detik. Masih wajah yang sama. Tenang, tulus, dan seperti dulu, selalu muncul membelanya. Namun sekarang rasanya... berbeda. Ada batas tak terlihat di antara mereka, dan Kirana tahu, batas itu bukan cuma karena statusnya sebagai istri orang.
Ia mengangguk pelan. "Oke. Tapi jangan lama-lama, ya. Adimas nungguin di parkiran."
Mereka berjalan ke arah taman kecil di samping gedung seni. Tempat yang dulu pernah jadi tempat Kirana menangis diam-diam setelah patah hati. Tempat yang sama, tapi perasaannya kini tak lagi sama.
Bobby duduk duluan di bangku batu, Kirana menyusul. Jarak di antara mereka cukup jauh untuk dibilang sopan, tapi cukup dekat untuk mendengar helaan napas.
"Aku enggak akan ganggu kamu lagi setelah ini. Aku tahu semuanya dari Debby, Ki. Dari syarat Mami sampai akhirnya kamu nikah," ujar Bobby, membuka pembicaraan. "Aku cuma pengen... bilang langsung. Aku minta maaf."
Kirana menoleh, sedikit terperanjat tapi lalu ia memutuskan bertanya. "Maaf untuk apa?"
"Untuk banyak hal. Untuk aku yang dulu terlalu sibuk mengejar ambisi sampai lupa kamu juga butuh waktu didengar. Untuk saat kita putus, dan aku... ngerasa semua itu bisa ditunda. Tapi ternyata kamu nggak mau jadi cadangan."
Kirana menatap lurus ke depan. "Kamu tahu, waktu kamu bilang, 'kita pending obrolan karena mau fokus pameran', aku sempat mikir kamu beneran mau langsung hubungi aku."
Bobby mengangguk pelan, matanya tertunduk. "Aku bego karena mikir kamu butuh waktu sendiri."
Suasana hening sejenak. Angin sore menggoyangkan daun-daun, menebarkan aroma rumput basah dan sedikit nostalgia yang pahit.
"Aku seneng kamu udah nikah, Ki. Serius," kata Bobby, suaranya pelan tapi mantap. "Adimas... dia kayaknya cowok yang nggak akan bikin kamu nunggu atau merasa nggak cukup."
Kirana menahan senyum getir. "Dia nggak sempurna, Bob. Kurangnya banyak banget. Tapi dia selalu bisa ngebuat aku berharga dan hebat di segala situasi. Bahkan pas aku nggak yakin sama diri sendiri."
Bobby mengangguk lagi, kali ini sambil menghela napas panjang. "Ya... itu yang nggak pernah bisa aku sampaikan ke kamu, ya ?"
Kirana tak menjawab. Tapi dari matanya, Bobby tahu - iya.
"Makasih udah datang tadi," ujar Kirana akhirnya, suara lembut. "Aku nggak nyangka kamu masih peduli."
"Aku peduli," jawab Bobby jujur. "Tapi aku juga sadar, sekarang bukan tempatku lagi buat jaga kamu. Cuma... kalau someday kamu butuh teman, aku masih di sini. Tapi bukan buat ganggu. Cuma buat dengerin, kayak hari ini."
Kirana tersenyum tipis. Kali ini, bukan senyum getir. Tapi senyum ikhlas.
"Terima kasih, Bobby."
Bobby berdiri, menyelipkan tangannya ke saku jaket. "Jaga dirimu, Ki. Dan... salam buat Adimas."
Kirana hanya mengangguk. Ia berjalan menuju tempat parkir di mana Adimas sudah menunggunya.
Ia juga tahu, meskipun gosip masih bisa beredar dan sorotan belum akan redup, ia telah memilih untuk tetap berdiri - bukan sebagai korban rumor, tapi sebagai perempuan yang memegang kendali atas kisahnya sendiri.
Sementara itu, Bobby tetap berdiri di tempatnya, membiarkan angin sore menyapu rambutnya yang sedikit berantakan.
Ia menatap punggung Kirana yang semakin menjauh, langkahnya tenang, kepala tegak. Perempuan yang dulu sering ia tunggui pulang kelas, yang pernah ia janjikan dunia.
Kirana telah berubah. Bukan lagi seorang gadis manja tapi sudah bermetamorfosa jadi sosok yang lebih anggun, indah dan kuat.
Ternyata, semesta memang
punya caranya sendiri menyusun takdir terbaik.
Dalam diam, hatinya berbisik.
"Dulu gue pikir, mencintai itu soal memiliki. Tapi ternyata... mencintai juga bisa berarti belajar melepaskan. Bukan karena berhenti sayang, tapi karena sadar, kebahagiaan dia bukan lagi bareng gue."
Ia menarik napas dalam, lalu perlahan menghembuskannya.
"Gue pernah jadi bagian dari hidupnya. Tapi sekarang, dia lebih bahagia sama orang lain. Dan kalau bahagia dia bukan bareng gue... maka ikhlas itu satu-satunya cara gue bertahan."
Ia mengangguk kecil, pada dirinya sendiri. Pada perasaannya yang akhirnya mengerti.
"Terima kasih, Kirana. Karena pernah izinin gue ada di cerita lo. Dan sekarang, lo udah jadi cerita yang indah... meski bukan buat gue lagi."
Bobby tersenyum kecil, meski matanya terasa panas. Ia melangkah pergi, pelan tapi mantap. Tak lagi membawa penyesalan, hanya kenangan yang akhirnya bisa ia letakkan dengan tenang.
Sore itu, di antara langit yang meredup dan langkah-langkah yang menjauh, Bobby tahu: ia telah benar-benar melepaskan - bukan karena kalah, tapi karena mencintai tak selalu berarti menggenggam.
***