Oktober tiba.
Jalanan Bandung sudah sejak beberapa jam lalu tergenang air sebatas lutut. Konon, buruknya drainase menjadi penyebab. Tertutupnya selokan oleh sampah dan banyaknya warga yang membeton jalur air. Satu alasan klasik kota metropolitan.
Curah hujan menderas tanpa permisi, membuat banyak pengendara tak siap. Adimas, salah satunya. Tubuh cungkringnya basah kuyup lantaran kelupaan membawa jas hujan. Masih untung ia tak membawa laptopnya. Di rumah nanti, ia pasti akan langsung sibuk 'menyelamatkan' diktat kuliah dalam tas, sebisanya. Pakai hair dryer si bunda, barangkali.
Di antara deru klakson kendaraan yang membelah jalanan, Adimas berkutat menahan lapar dan dingin. Terpaksa, ia harus menyeret motor matic-nya di pesisian jalan. Mogok karena mesinnya kemasukan air. Cobaan Adimas tak berhenti sampai di situ. Boleh dibilang, seharian ini otak dan tenaganya terkuras habis mengerjakan proyek di lab kampus. Eh, setelah itu, masih harus diculik anak-anak ROHIS buat membahas tema kajian pekan depan. Lengkap!
Gara-gara Yasser -sahabat satu circle nya masuk COMMITMENT alias Community of Muslim Student, tak tahu kenapa ujung-ujungnya Adimas malah sering dilibatkan. Padahal, ia sama sekali belum ada niatan ingin jadi Ikhwan. Sumpah! Tapi yah... tak ada salahnya ikutan kumpul sekali-sekali. Hitung-hitung sukarelawan dakwah kan, lumayan berpahala. Begitu mulanya pikir Adimas. Mana ia tahu pada akhirnya akan keterusan.
Ah, sudahlah. Percuma mengomel panjang lebar. Innallaaha ma'a shaabiriiiin. Allah bersama orang-orang sabar. Alam bawah sadar Adimas me-recall satu ayat tentang keutamaan sabar. Saking seringnya ia mendengar kalimat senada dari mulut Yasser.
Adimas menabahkan diri. Namun, baru saja ia mencoba berpikir positif, tiba-tiba sebuah mobil melewatinya dengan kencang. Alhasil, serbuan air comberan pun tak terelakkan, menciprati wajah dan seluruh tubuhnya. Robohlah sudah tembok kesabarannya.
"Woy! Mata lo picek? Hati-hati, dong kalo nyetir!!" teriaknya sepenuh hati, pada mobil yang terus melaju. "Astagfirullah...." susulnya, kemudian.
Orang bilang, selalu ada bayaran untuk sebuah niatan hijrah. Harus Adimas akui, sepertinya itu benar.
Adimas mengerutkan kening. Sesampainya di komplek, sebuah penampakan fortuner yang mirip dengan pelaku 'ciprat lari', kini menghiasi pekarangan tetangga di sebelah rumah.
Kediaman Kirana.
Tanpa sadar, helaan napas berat lolos dari bibirnya.
Sesampainya Adimas di rumahnya yang minimalis berlantai dua dan dipenuhi etalase berisi aneka bolu dan kue untuk dijual, bunda Sofia memekik kaget mendapati penampilan putera bungsunya itu sudah mirip anak kucing hilang yang baru kembali pulang. Kumal, kedinginan, sekaligus lapar. Tanpa bertanya-tanya lagi, dibawakannya Adimas handuk, bersamaan interupsi dering ponsel di saku apron yang sedang ia kenakan.
Adimas baru selesai menunaikan salat dzuhur ketika bunda menghampiri, membawa keresek besar hitam.
"Apaan tuh, Bun?" tanya Adimas melongok isi keresek, ingin tahu.
"Mami Kiki tadi nelpon, minta kamu ke sana bawain pesenan kue basah untuk ke masjid. Urgent, katanya. Tolong antar sebentar, Sayang," pinta bunda, mengalihkan barang bawaannya ke tangan si bungsu.
Mimik Adimas seketika berubah enggan, tapi mau bilang, 'ah', ia tak berani.
Bunda kontak tergelak melihatnya. "Sampai kapan kamu mau main kucing-kucingan sama Kiki? Nggak baik menghindar terus. Sana, hadapi. Kalau masih cinta, perjuangkan. Kalau nggak, ikhlaskan. Sesimpel itu, kok.”
Ck, mulai lagi! Adimas mengeluh. “Siapa yang cinta-cintaan, Bunda. Nggak ada! Berapa kali aku bilang kita cuma best friends,“ sahutnya dengan rupa letih.
Setiap kali digoda begitu, reaksi Adimas selalu sama.
“Eh, more than friends juga boleh, kok. Buktinya anak Adi Bing Slamet itu kabarnya kan nikah sama temen sekolahnya, first love atau apa gitu istilahnya.“ Bunda masih semangat menggoda, dicoleknya lengan Adimas sebelum keburu mencapai pintu. Melalui ekor mata, terlihat Adimas mengacak rambutnya sendiri yang masih basah.
“Ya itu kan cerita mereka, Bun,“ balas Adimas, menoleh ke arah bundanya dan tersenyum tipis. Meski sepintas, bunda menangkap ada sesuatu pada senyuman itu. Otomatis hatinya terkesiap kaget. Senyuman itu… kenapa getir banget?! Padahal, biasanya Adimas selalu gemar memasang wajah datar.
“Kalo aku dan Kiki, kayaknya mustahil…” Setelah mengucapkan itu, Adimas mengayunkan langkah keluar rumah. Meninggalkan bunda yang mematung, menatapi si bungsu dengan raut shock.
Semula, bunda sekedar ingin cek ombak sekaligus iseng mengerjai si bungsu. Siapa tahu punya pujaan hati. Sudah hampir 22 tahun, jangankan membawa pulang cewek. Gosipnya saja tak kedengaran sama sekali. Track record anak itu sebersih detergen pemutih! Nyaris semurni oksigen! Saban kali bunda menginterogasi teman-teman Adimas yang main ke rumah, jawabannya serupa. “Kalau Kirana bukan pacarnya, ya berarti Dimas masih jomblo, Tante.” Tapi dari gelagat putera bungsunya barusan, kecurigaannya selama ini jadi menguat.
Adimas sepertinya tidak menganggap Kirana just friends!
Ya ampuuun… Bunda menggigiti ujung apron. Masalahnya, kubu sebelah itu, lho!
Kirana sudah punya pacar!
"Hmm, sebenarnya dari kapan si Dimas naksir Kiki? Dari kapan mereka berdua saling menjauh?" gumam bunda. Entah kenapa semakin dipikir, hatinya makin resah. Aneh rasanya melihat Adimas-Kirana sekarang sibuk sendiri-sendiri. Mengingat biasanya dari dulu mereka selalu kompak. Bak kembar tak identic, mereka tak terpisahkan, dari mulai TK sampai universitas.
“Kasihan kamu, Dim. Atau jangan-jangan kamu sendiri malah belum ngeh sama perasaanmu?” gumam bunda, sedih campur bingung.
Andai bunda tahu kalau di sepanjang perjalanan menuju rumah Kirana, hati Adimas membengkak karena dipenuhi banyak perasaan. Jengkel, penasaran, serta...
Kenapa sih, harus ada secuil rasa kangen juga?
Bahaya! Alarm peringatan Adimas sekonyong-konyong menyala. Mengesah pasrah, Adimas mengusak-ngusak wajahnya.
***
"Assalamualaikum..."
Tanpa menunggu jawaban, Adimas membuka pagar dan menyelonong masuk ke dalam kediaman yang terletak di sebelah kanan rumahnya itu. Pura-pura tak melihat sosok Kirana yang sedang duduk lesehan di teras, bersama seorang cowok.
"Waalaikumsalam, Dim. Sini buruan! Kamu pasti belom makan siang. Mami bikin karedok favorit kamu. Nanti titip Kiki bentar, Mami mau antar dulu kue ini ke pengajian. Takutnya telat, nanti berabe."
Cerocosan sumringah maminya di dalam, membuat Kirana cemberut. Mulai memahami maksud beliau mengundang Adimas. Memangnya kenapa kalau ia ditinggal berduaan dengan pacarnya sendiri.
Toh, Bobby juga nggak akan gigit, keluh Kirana dalam hati.
"Tapi Mi, aku rencananya mau makan di rumah aja. Kasihan si Bunda udah masak..." tolak Adimas.