Just Friend's Scenario

Vina Marlina
Chapter #2

Two Universe

Menjelang semester akhir, perkuliahan tidak sepadat biasanya. Adimas dan beberapa temannya sepakat mendirikan bisnis retail kecil-kecilan berbekal sponsor utama Medi, teman sejurusan di fakultas Teknik Kimia. Mumpung bapaknya baru jual sawah, katanya.

"Bisnis itu perlu calculated risk, memperhitungkan segala resiko. Tapi jangan terlalu takut juga untuk memulai. Para nabi dan sahabat pun adalah pebisnis. Banyak yang terjebak mitos kalau memulai usaha itu harus memiliki modal tinggi. Padahal, melalui usaha mikro atau bermodal dibawah 50 juta pun, bisa. Kenali tools yang kita punya, pakai analisis SWOT sebagai perencanaan. Lalu, mulailah melangkah tanpa ragu."

"Sebagai muslim, jangan lupa sertakan niat usaha kita untuk berdakwah di jalanNya. Karena hidup tanpa dakwah, bagaikan sayur tanpa garam. Hambar. Seperti luntang-lantung tanpa tujuan. Akhirnya kesempatan mendulang kebaikan pun berlalu sia-sia. Naudzubillah."

Lewat layar laptopnya di kamar, Adimas mencatat baik-baik uraian senior jurusan kewirausahaan merangkap ketua rohis di kampusnya, Kang Fajri. Walau batinnya terbelah antara takjub dan bertanya-tanya. Sebenarnya gua ini siapa dan ada di mana? Maklum, Adimas kadang masih tak percaya kalau ia bisa terjaring di dunia ROHIS yang dulu dianggapnya makhluk beda universe.

Melalui media zoom, mereka serius berdiskusi. Kebetulan, kang Fajri telah diminta menjadi mentor bisnis mereka.

"Target utama kita sekarang adalah menggencarkan promosi. Sasaran utamanya anak-anak kampus yang ngekost dan penduduk di sekitar sini. Mereka pasti perlu sembako dan barang daily needs yang harganya murah dan tidak terbawa arus fluktuatif harga pasar. "

"Bisnis minimarket online kita ini sayang sekali kalo rukonya hanya berfungsi sebagai gudang penyimpanan biasa. Gimana kalau kita bikin konsep ala toko sekalian. Nggak apa-apa, biarpun sederhana. Minimal kita buka buat para tetangga sekitar. Kita bisa minta bantuan adik tingkat untuk jaga shiftnya nanti. "

"Setuju, Kang, kita mah manut aja baiknya gimana kata mentor," jawab seorang cowok berkulit kuning langsat asal Tasikmalaya bernama Yasser.

Adimas dan Medi ikut menggumamkan kata sepakat.

"Baiklah. Kalau untuk konsep dekorasinya bagaimana, apa ada ide?" tanya kang Fajri.

"Soal itu kita serahkan sama Adimas aja, Kang. Dia ada kenalan anak seni rupa. Lumayan bisa menghemat budget." Medi kelihatan tunjuk tangan di layar, sengaja mengabaikan pelototan Adimas padanya. Sementara Yasser, tampak mati-matian menahan tawa.

"Masya Allah, kalau begitu, tolong bantuannya ya, Dim." Kelegaan terpancar dari Kang Fajri, tak memberikan celah sedikitpun bagi Adimas untuk menolak. Ternyata sesulit itu menghindari Kirana.

"Insya Allah, saya usahakan, Kang," jawab Adimas, sebelum Kang Fajri left zoom lebih dulu, meninggalkan tiga orang juniornya.

"Weits yang punya bahan buat deketin Neng Kiki," goda Yasser.

"Hus, nggak boleh lah kita bilang gitu. Nanti kalau Adimas betulan sulit lupain first love nya, kita juga lah yang pasti merasa bersalah." Medi menimpali tapi dua alisnya turun naik, main kode dengan Yasser.

Adimas sebenarnya dongkol tapi memilih pura-pura cuek. Tak habis pikir, punya teman kok doyannya meledek dan main analisa sendiri. Seenaknya main tuduh Adimas gagal move on. Semua gossip itu berawal gara-gara Kirana lumayan sering menyambangi Adimas waktu jaman mahasiswa baru dulu di gedung Fakultas Teknik. Tujuannya ingin menebeng pulang bareng.       

Kalau dipikir lagi, pantas teman-temannya salah paham. Adimas sendiri sudah kelewat capek menghadapi pergunjingan itu. Ia dan Kirana sudah dewasa. Masa masih juga jadi objek gossip? Terlebih, circle-nya sekarang rata-rata aktivis semua. Ia merasa tak nyaman. Tapi apa boleh buat. Kebetulan, pak Hambali yang notabene papi Kirana, merupakan sahabat karib dosen termodinamikanya yang terkenal killer. Bukan sekali dua kali dosennya itu memberi pesan sponsor selagi memberi materi di kelas, di hadapannya teman-temannya. “Gimana kabar Kirana, Dim? Jagalah dia dari jeratan serigala-serigala kampus.”

Sekali lagi, pantas teman-temannya jadi salah paham!

"Maaf Dim, habisnya Bapakku ngabarin kalau jualannya di Medan lagi sepi. Jadi, kita betul-betul mesti puter otak menghemat budget. Nggak ada maksud aku maksa kamu minta bantuan Kiki. Kita bisa cari jalan lain," Medi memasang postur menjura lewat layar zoom.

Adimas mengangkat bahu. "Nanti gue usahain ngobrol kalau dia kelar proyek pamerannya."

"Baiklah, Bro. Kita jadi kumpul malam ini di ruko, kan? Kita lanjutin diskusinya di sana," pungkas Yasser yang kemudian mendapatkan gumaman 'ya' dari dua rekannya sebagai jawaban.

Maka siang harinya, Adimas bersiap pindahan ke ruko yang telah mereka sewa. Ia sedang mengepak barang di teras balkon lantai dua rumahnya, ketika dilihatnya Kirana muncul di jalan raya komplek membawa kardus kecil berisi peralatan lukis. Tampangnya luar biasa gembira, sampai cekikikan segala.        

Mengenakan T-shirt hitam dan jeans gombrong. Kontras dengan warna kulitnya yang putih. Setelannya sangat casual dan sederhana. Membuatnya tampak imut seperti gadis SMA, bukan mahasiswi semester enam. Sesekali, rambut hitam sebahu Kirana terlihat bergoyang-goyang tertiup angin.

Harus Adimas akui, Kirana itu menggemaskan. Diamatinya terus gadis itu lekat-lekat, hingga sosoknya menghilang di balik pagar.

"Makasih supportnya, By. Doain terus supaya proyek aku lancar. "

Oh, rupanya Kirana sedang telponan lewat ear pods. Ada gelenyar asing yang terasa pahit, mengetahui dengan siapa Kirana sedang berkomunikasi.

"Assalamualaikum, Mi. Aku pulaaang! Loh, ini apaan banyak banget kardus di lantai. Mami mau buka bisnis online shop?!"

Suara cempreng Kirana terdengar dari teras rumah sebelah. Kepala Adimas refleks menggeleng pelan saat membayangkan bagaimana mami biasanya akan balas teriak mengingatkan sang puteri supaya jangan ribut-ribut. Senyumnya tertarik samar. Sejenak, sebelum ia kembali serius memasukkan diktat-diktat perkuliahannya ke dalam tas besar.

Tak boleh goyah!

Adimas terus mengingatkan diri. Semenjak ayahnya meninggal dua tahun lalu, ia bertekad akan menggantikan beliau menjaga bunda. Sudah cukup bunda berjuang sendirian. Terlebih, kakaknya, Mas Raka sedang menimba ilmu di negara lain. Bagaimanapun, sebagai satu-satunya lelaki di rumah, ia harus turut berkontribusi dalam menyambung perekonomian keluarga. Bukankah kehormatan lelaki dapat dilihat dari usahanya dalam memberikan makanan dan pakaian dengan cara yang ma’ruf?

Satu azzam Adimas, akan ia tinggalkan jejak masa lalunya di belakang dan fokus menata masa depan. Tak terkecuali, melupakan perasaannya yang rumit dan membingungkan terhadap sahabat kecilnya itu. Apalagi, Kirana sudah menjadi milik orang lain. 

***

Siang itu di sebuah jalan perumahan, seorang gadis berkulit putih tampak susah payah membawa kardus berukuran cukup besar. Tak ia pedulikan keringat bercucuran membasahi poni di kening serta kausnya. Perhatiannya tersita pada isi kardus yang ia jaga dengan amat hati-hati, seolah membawa harta paling berharga di dunia.

Lihat selengkapnya