"Dim, subuh...! Assalaaatu khairumminannauuum! Shalat itu lebih baik daripada tiduuur!"
Saking kencangnya suara gedoran, Adimas jadi bertanya-tanya, apa sebenarnya Yasser sedang melakukan penggerebekan. Matanya bergerak-gerak dan mulai membuka, berusaha menghimpun kesadaran. Terpaksa. Daripada ujung-ujungnya ia jadi kudu mereparasi pintu.
"Iyaaa, gue udah bangun!" jawab Adimas dengan suara serak, menendang selimutnya ke ujung kasur. Tubuhnya serasa dihimpit beban satu ton. Capek luar biasa. Terlebih, ia baru bisa tidur sekitar pukul dua dini hari, setelah berjuang menjadikan kamarnya lebih layak ditinggali.
"Jawablah shadaqta wabararta wa anaa 'alaa dzalika minasy syahidiina, wahai saudaraku! Benar dan baguslah ucapanmu itu dan aku pun termasuk orang-orang yang menyaksikan!"
Setelah melafadzkan itu, tampaknya Yasser puas dan langsung pergi. Bacaan selepas adzan subuh itu kini terdengar bergaung di ujung lorong. Tepatnya di depan kamar Medi.
Namun, ketabahan Yasser langsung diuji karena bukannya merespon seruannya, dengkur Medi malah terdengar lebih kencang. Tak heran Yasser berubah beringas. Apalagi masjid belakang ruko sedang melantunkan iqamat, tanda shalat berjamaah akan dimulai. Suaranya naik seketika beberapa oktav.
"Woy, Meediiiii! Bangun nggak, lu! Udah iqamat, tuh!"
Adimas menopang sikunya sambil menggeleng beberapa kali. Suara kekehan lolos dari bibirnya. Sudah mendapatkan gambaran suasana pagi yang akan ia jalani ke depannya.
Usai shalat subuh di Masjid, Adimas kembali membaringkan tubuhnya di kamar, bemaksud mengecek ponsel yang ia charge semalaman. Tak menghiraukan kericuhan dua sahabatnya di lantai bawah yang sedang berusaha memasang kompor dan gas untuk dipakai memasak sarapan. Tetapi, keningnya langsung berkerut karena membaca ledakan pesan dari Kirana.
"Disuruh mami nikah, katanya. Lawak. Lo mau nge-prank gue apa gimana, Ki," dengusnya. Secepat kilat jemarinya mengetik balasan, kemudian ia melemparkan hapenya serampangan di atas tempat tidur. Matanya lalu dipejamkan, mumpung jadwal perkuliahannya baru akan dimulai tiga jam lagi, rencananya ia akan meneruskan istirahatnya.
Sementara Adimas tertidur, Kirana terbelalak membaca balasan whattsap cowok itu di meja makan.
Barakallahumma wabaraka 'alaika...Moga samawa, deh. Mau kado apaan lo dari gue?
Ternyata, Adimas menganggapnya bercanda. Sialan banget! Udah ditungguin semaleman juga! Kirana menggigit roti bakarnya keras-keras sebagai pelampiasan. Rasa kesal dan frustrasi menguasai hatinya.
"Kalau makan tuh, pelan-pelan, Ki," tegur papi di sebelah puteri semata wayangnya itu.
Aha! Mendadak, Kirana mendapat ide. Sedikit menyesal kenapa baru terpikir sekarang. Bukankah cinta pertama seorang anak perempuan itu adalah ayahnya? Papi takkan mungkin tega mematahkan hatinya. Dasar gue durhaka. Inget Papi kalau pas butuhnya doang. Kirana kontan merasa bersalah.
Setelah memastikan mami sudah ngeloyor ke dapur untuk mengambil menu sarapan yang lain, Kirana beringsut mendekati sang papi.
"Ehem, Pi...Papi sayang Kiki, kan?" bisiknya sambil mengerjap-ngerjapkan mata serta menyetel nada suaranya penuh kesedihan.
"Tolong bujukin Mami, dong, supaya ngijinin Kiki tetap di Bandung. Satu tahuuuuun aja, Pi. Please..." Dua tangannya ditangkupkan di depan dada seraya menaik turunkannya penuh permohonan. Biasanya, siasatnya ini selalu berhasil.
Tetapi, mungkin ini memang hari sialnya. Karena, Papi balas berbisik dengan serius, "Sorry, Ki. Papi nggak berani ngelawan Mami. Kamu sayang nyawa Papi, kan?"
Kirana tersenyum kecut mendengarnya.
Tak heran, di sepanjang perjalananan menuju kampus, gadis itu terus menekuk wajah hingga akhirnya tiba di kelas. Tanpa berkata-kata, digabrukannya tas keras-keras di atas meja, persis di samping sahabatnya semasa mahasiswa baru dulu. Membuat Debby, nama gadis itu, sampai terkaget-kaget dan mengalihkan pandangannya dari kaca bundar kecil yang sedang dipegangnya, ganti menatap Kirana.
"Kenapa lo pagi-pagi udah badmood? Lagi dapet?" tanyanya.