Menyoal patah hati, Kirana sedang berusaha mengompromikan pikiran. Bahwa ini hanyalah fase lain dari jatuh cinta. Layaknya makhluk yang lahir lalu mati. Bunga yang mengembang pun pasti akan layu. Lantas, apa bedanya dengan kandasnya suatu hubungan? That's natural.
Meski, tetap saja.
Tak mudah menata hati yang koyak.
"Tega kamu, By. Hiks..." Kirana tak henti menyeka linangan air mata di pipi. Sesekali, ia susut juga ingus menggunakan tisu yang entah sudah berapa banyak ia buang di lantai tempat tidurnya.
Selang hampir dua minggu paska 'putus', Bobby sama sekali tak menghubungi Kirana. Ini rekor baru. Padahal, biasanya Bobby yang selalu menghubungi lebih dulu kalau mereka bertengkar. Paling banter satu Minggu mereka sudah balikan lagi.
"Harusnya kalo kamu nggak mau putus, kamu kejar aku kek, telpon kek. Jangan malah diemin aku kayak gini. Jahat! Hiks, tapi gue juga bego, sih!"
Kirana menangis tergugu. Rasa sesal menyelusup ke dalam hati, kenapa ia terlalu gegabah mengucapkan kata pisah. Bobby adalah cowok ambisius. Statusnya sebagai pewaris bisnis perusahaan keluarga, pasti telah membentuk kepribadiannya menjadi seperti sekarang. Tipikal cowok pengejar kesuksesan.
Mengapa ia begitu childish dan tidak mau mengerti posisi Bobby?
"Huwaaaaaa, dasar gue bego! Beneran putus sih, ini mah!"
Usai berhari-hari menangis diam-diam, akhirnya Kirana keluar dari kamar. Mami dan papi yang melihat matanya bengkak saat sarapan, kelihatan sangat penasaran tapi tak mau bertanya lebih dulu. Alhasil, mereka hanya mengamatinya lekat selama sarapan.
"Kamu ngampus hari ini, Ki?" Mami mulai memberikan pancingan.
"Nggak, Mi," jawab Kirana singkat.
"Oh..." komentar mami singkat. Kampus baru melaksanakan ujian semester, hingga aktivitas mahasiswa FSRD khususnya, terpusat pada persiapan kegiatan pameran tahunan. "Sore ada acara sama Bobby, nggak?"
Kirana yang sedang melahap nasi gorengnya malas-malasan, berhenti mengunyah. Posturnya menunjukkan keengganan. Ah! Mami mengerti. Anehnya, alih-alih ikut merasa sedih, ekspresi mami malah kelihatan lega. Kirana mengernyit melihatnya.
"Rencananya kalo nggak nanti sore, besok pagi Mami mau ikut Bunda Sofie nyiapin syukuran pindahan Dimas ke ruko," jelas mami tanpa menyembunyikan mimik sumringahnya. "Ikut Mami yuk, Ki?"
Kirana tampak berpikir-pikir. Jelas baru mengetahui fakta tersebut. Benaknya dipenuhi pertanyaan, mengapa Adimas mau pindah ke ruko. Memangnya apa rencana Adimas? Segumpal perasaan sedih menerpa. Sedikit merasa bersalah karena ternyata ia tidak tahu apa-apa tentang kegiatan Adimas belakangan ini.
Berhubung Kirana tidak punya ide lain untuk mengalihkan kesedihannya, kepalanya mengangguk tanpa ia sadari.
"Good." Senyum mami merekah sangat lebar.
Maka setelah sarapan, Kirana naik kembali ke kamar. Pikiran mengenai Adimas memenuhi kepalanya. Terdorong rasa penasaran, ia berjalan ke teras lalu melongok ke dinding pembatas sebelah kiri yang memisahkan rumahnya dengan kamar Dimas di lantai dua. Siapa tahu Adimas ada di rumah.
Dugaannya tak meleset. Begitu ia mengintip ke arah balkon tetangganya itu, tampak Adimas sedang menelpon seseorang. Nyaris Kirana membuka mulutnya untuk menyapa, jika saja ia tidak mendengar nada suara Adimas yang sarat ketegangan.
"Med, lo mikir apa sampai nekat minjem duit dari pinjol buat nambahin modal usaha kita. Kita atur seadanya aja kan, bisa!"
Mata bulat Kirana membelalak. Di luar kesadarannya, ia memasang kuping baik-baik, ingin mendengar kelanjutan obrolan Adimas lebih jelas. Dibalik tembok itu, ia menyenderkan punggung dan berjongkok. Memastikan dirinya sudah tersembunyi dengan baik.
"Kapan tenggang waktu pinjaman lo?" Adimas terdiam sesaat, mendengarkan respon rekannya.
"Hah?!! Lo bego atau dungu?!"
Terdengar jeda lagi dan Kirana ikut terbawa tegang mendengarkan semua monolog Adimas itu.