Tangan Bunda Sofie dengan cekatan mencetak kue berbentuk bulat di atas loyang. Di tengah aktivitasnya, terbayang saat Adimas menemuinya pagi tadi dengan wajah terpukul. Anak bungsunya itu tak ada angin, tak ada hujan tiba-tiba saja berlutut dan menciumi tangannya.
"Bunda, maaf...Bisnisku sepertinya batal, Bun. Temanku ternyata ngasih modal usaha dari hasil pinjaman online. Daripada bunganya semakin membengkak, mending dipake buat lunasin utang dulu. Maaf banget, Bun..."
Adimas mengatakannya sambil menahan tangis. Mungkin merasa sangat kecewa. Hati ibu mana coba yang tak ikut merasa sakit?
"Aku nggak mungkin pake uang Bunda, aku nggak mau, Bun... "
Adimas menolak ketika sang ibu menawarkan bantuan. Tapi meski si bungsu bilang begitu, tekadnya sudah bulat. Apapun yang terjadi, baik bisnis atau syukurannya harus tetap berjalan. Kalau perlu, besok ia akan menemui rekan puteranya yang berhutang itu untuk membayarkan utangnya dulu diam-diam.
"Sof, ini kuenya dimasukin ke toples sekarang?" tanya mami Kirana sekonyong-konyong datang dari dapur. Bunda menoleh dan baru hendak menjawab saat terdengar keributan di lantai atas.
"Ki, lo ngapain, sih?! Lepasin, nggak?!" seruan Adimas terdengar.
Mendengar itu, bunda dan mami saling pandang sejenak lalu buru-buru menghampiri asal suara. Kebetulan, lantai dua hanya di bangun separuhnya, sehingga mereka masih bisa melihat apa yang terjadi dari bawah. Setibanya di sana, keduanya dibuat ternganga.
Tampak Kirana sedang gelendotan memeluk leher Adimas dari belakang.
"Lo makan apa sampe bisa setinggi ini?!" pekik Kirana, panik. Apalagi Adimas mulai oleng karena sergapan dadakan. Berhubung takut jatuh, ia refleks melingkarkan dua kakinya di perut Adimas. Dan cowok itu, mungkin merasakan kekuatiran yang sama karena tangannya spontan menahan tubuh Kirana dibelakangnya.
Yang terlihat oleh bunda dan mami adalah sepasang muda-mudi yang sedang gendong-gendongan. Tak heran mami langsung berteriak nyaring.
"Kikiiiii! Turun, kamu! Kalian terlalu gede buat main kuda-kudaan gitu!"
Terperanjat kaget mendengar suara mami, Adimas menurunkan Kirana dengan hati-hati. Tetapi rupanya cewek itu masih enggan melepasnya pergi. Sebuah cekalan kuat terasa di lengan kirinya.
Adimas menahan napas. Detak jantungnya berpacu dua kali lipat.
"Maaf Mi, Bun, tapi aku ada perlu dulu sama Dimas. Penting!" Usai bicara begitu, Kirana membetot Adimas supaya mengikutinya kembali ke kamar. Lagi-lagi, mami dan bunda hanya bisa bengong di tempat.
"Kita bicara di teras!" Adimas melepaskan cengkraman Kirana lalu berjalan lebih dulu ke balkon. "Mau lo apa?" tanyanya sambil berusaha menahan laju jantung yang jumpalitan, setelah si gadis berada tepat di sebelahnya.
"Dim, please...Lo udah denger dari Bunda kan, soal syarat si Mami? Kalo bukan lo, gue nggak tahu harus minta tolong sama siapa lagi," jawab Kirana memelas. "Asal lo tahu, gue udah mempertaruhkan segalanya buat bisa kelarin proyek ini. Gue nggak rela semuanya mubazir!"
"Terus, kenapa nggak minta bantuan cowok lo tersayang? Kenapa mesti gue?" dumel Adimas jengkel.
"Kita udah putus." Kirana menukas pelan. Dan, Adimas menoleh dengan kaget, mendengarnya.
Menit demi menit berlalu, keduanya tidak ada yang bersuara.
"Tapi kenapa mesti nikah kontrak? Gue nggak mau. Nikah itu bukan permainan, Ki, tapi perjanjian yang disaksikan Allah dan para penghuni langit. Camkan itu!" Adimas memecahkan keheningan.