Just Friend's Scenario

Vina Marlina
Chapter #6

How To Say Yes

Sudah beberapa hari, Adimas nyaris tak mengindahkan pesan-pesan yang masuk. Tepatnya, ponselnya terlupakan. Kecuali saling berkabar dengan bunda dan kakak lelakinya, Adimas menutup akses pada yang lain, terutama Kirana.

"Malam nanti, gimana kalau kita mulai menemui pak RT dan jajaran pengurus untuk minta ijin?" usul Kang Fajri yang diiyakan Adimas dan dua rekannya.

Medi dan Adimas sepakat ber-ishlah. Setelah Medi berjanji akan mulai menyicil utangnya pada Kirana secara rutin, menggunakan uang bulanannya. Saatnya mengesampingkan ego. Bagaimanapun, the show must go on.

"Porsi bagi hasil dalam Islam, biasanya berkisar 40-60. Yang berarti, 40% akan didistribusikan kepada pemilik dana atau shahibul maal dan 60% didistribusikan pada pengelola atau mudharib. Tapi karena kita melakukan double job, sebagai pemilik dan pengelola, maka akan kita bagi rata keuntungan perbulannya. Aku juga sudah menyiapkan kontrak. Tolong telaah dulu sebelum menandatangani." Kang Fajri mengeluarkan secarik kertas berisi perjanjian dari dalam tasnya, lalu menaruhnya di atas meja.

"Aduh, Kang... Kenapa harus pake kontrak segala, kan kita udah saling kenal. Kesannya gimana, gitu," timpal Yasser, menggaruk pipinya, merasa sungkan.

Namun, Kang Fajri hanya tersenyum. Seraya membetulkan kacamatanya, cowok itu menunjukkan poin-poin dalam kertas tersebut. "Justru, perjanjian macam ini sangat diperlukan supaya kalau ke depannya ada pelanggaran di antara kita, kontrak ini bisa mengingatkan."

Yasser dan Medi mengangguk-angguk paham. Berbeda dengan Adimas yang mendadak salah tingkah. Teringat isi kontrak friends with benefit punya Kirana.

"Nah, berbisnis di dunia ritel, berarti kita harus mencari supplier yang menawarkan harga produk paling bersaing, karena kita harus bersaing dengan banyak competitor. Kemarin-kemarin, aku sudah cerita tentang kenalan yang bisa memasok produk-produk murah dan berkualitas melalui system dropship. Jadi, kita bisa menjual dulu barang-barang itu, baru melakukan pembayaran ke supplier. Besok atau lusa, ayo kita bareng-bareng silaturahim ke perusahaannya. Jangan lupa bawa proposal bisnis kita."

Mimik Adimas dan dua rekannya menjadi berbinar-binar mendengarkan uraian Kang Fajri. Tidak menyesal sudah mengangkat beliau menjadi mentor. Mungkin banyak orang memilih berbisnis secara otodidak dan mandiri. Mengandalkan feeling dan kerja keras. Tapi di zaman modern ini, keberadaan seorang penasihat bisnis ternyata sangat membantu, supaya lebih mengefektifkan waktu dan tenaga, terlebih Adimas dan rekan-rekannya masih berstatus mahasiswa dengan kelimuan bisnis dan koneksi yang belum seberapa.

"Alhamdulillah, persiapan kita sudah 80 persen. Yang lalu biarlah berlalu, kita perbaharui niat untuk terus melangkah di jalan kebaikan. Siap?" Cowok berparas adem itu mengingatkan para juniornya.

"Insya Allah, siap, Kang!"

***

Sungguh satu minggu yang padat.

Adimas baru bisa merebahkan tubuh di kamarnya larut malam. Usai menyelesaikan tugas praktikum di kampus dan mengawasi penginstalan aplikasi penjualan online di lantai bawah ruko. Seharusnya, ia manfaatkan waktu yang ada untuk beristirahat. Hari esok kemungkinan besar akan sama sibuknya dengan hari ini. Grand Opening toko online-nya semakin mendekat. Nyatanya ia masih belum dapat memejamkan mata. Ucapan bunda di telepon tadi sore masih terngiang.

"Kapan kamu pulang, Dim? Kita akan antar keluarga Kiki ke bandara seminggu lagi."

Rasanya masih sulit dipercaya. Ia dan Kirana memang tidak sedekat dulu. Tapi, kemungkinan mereka tidak akan bisa berjumpa lagi dalam waktu lama, agak mengusiknya. Jarak Bandung-Pontianak tidak dekat, meskipun bisa diakses melalui pesawat.

Ah, bingung...

Adimas berguling-guling di atas tempat tidur. Kadang-kadang ia menggigiti bantalnya. Sejujurnya, hal yang paling mengusiknya bukan soal kepindahan itu. Beberapa hari kemarin, Kirana telah mengirimkannya pesan yang membuat matanya terbelalak.

Hey, Dim. Aku siap lho, melakoni adegan tujuh belas tahun ke atas bareng kamu. Jadi, will you marry me?

Rasanya Adimas bisa gila memikirkannya! Dan apa-apaan panggilan 'aku-kamu' itu? Seolah Kirana sudah pasang kuda-kuda buat melewati batas pertemanan yang selama ini mereka jaga.

Tak bisa terus begini. Adimas merasa takkan sanggup memikirkannya seorang diri. Ia butuh bantuan. Maka, jemarinya menekan tombol yang menunjukkan nomor 'Mas Raka', kakak lelakinya yang sedang menuntut ilmu di negeri paman Sam.

Hanya perlu beberapa kali nada dering sebelum terdengar sahutan di seberang sana.

"Assalamualaikum, Dim... Tumben jam segini nelpon? Di sini baru jam tujuh pagi, tapi di Indonesia pasti sudah mau tengah malam sekarang. Ada apa gerangan?"

Adimas terdiam, bibirnya mengulum senyuman. Suara riang kakaknya selalu memberikan suntikan kenyamanan tersendiri. Mas Raka sangat mirip figure almarhum ayah. Baik hati dan selalu bisa diandalkan.

"Aku kangen..." balas Adimas sekenanya, menerbitkan tawa renyah sang kakak.

"Biasanya kalau kamu lagi mode ngerayu gini, cuma ada dua kemungkinan. Kamu lagi butuh sesuatu. Atau lagi perlu sesuatu. Hayoo, yang mana, nih?"

Lihat selengkapnya