Kirana menghampiri tembok pembatas tempat Adimas sedang berdiri, sembari menyeret sebuah bangku kecil. Alis Adimas naik, mempertanyakan maksud Kirana. Namun, ketika dilihatnya si gadis mungil memijak bangku lalu menaikkan sebelah kakinya berusaha memanjat tembok, barulah mulutnya ribut bersuara.
“Eh, Ki, apa-apaan kamu? Hati-hati!” serunya, otomatis menjulurkan tangan dan berhasil menangkap Kirana tepat waktu.
“Lain kali, jangan kayak gitu lagi. Bahaya! Buat apa ada pintu. Apa perlu kita jebol temboknya sekalian?” semprot Adimas ketika Kirana sudah berdiri tegak lagi di atas lantai.
Kirana malah nyengir lebar, membuat matanya nyaris menghilang. Senyumannya itu menular. Dua sudut bibir Adimas berkedut kemudian tertarik ke atas, menampakkan lesung pipinya. Cowok itu berpaling setelah menoyor jidat Kirana lebih dulu.
“Dasar! Nyengir, bukannya mikir!” dumelnya.
“Yuk, sekarang kita temuin Bunda,” kata Kirana, berseri-seri. Tangannya sempat bergerak menggenggam sebelah tangan Adimas tapi keburu ditepis, pelan.
“Eits, belum mahram, tahu!” Adimas mengingatkan.
“Ah, iya, iya, kan soon to be ini,“ tukas Kirana menghentakkan dua kakinya tak sabar. “Cepetan kita bilang Bunda dan Mami, Dim.”
“Harus sekarang banget bilangnya?”
“Ohohoho, tentu nggak, Lusa aja bilangnya, biar kita nikah di bandara!”
“Maksudku, seharian ini kamu udah nemu kaca, belum? Susut dulu tuh iler. Mana ada calon pengantin dekil kayak kamu. Mana masih pake piyama, lagi. “
“Ah…” Kirana mengamati pantulan penampilannya melalui jendela kamar Adimas, “Iya juga. Nggak sopan banget gue. Lo…Eh, kamu pasti ilfeel ya, Dim?” Kirana tergeragap, masih belum terbiasa menggunakan sapaan terbarunya. Agak canggung rasanya kalau berhadapan face to face begini, sebab selama dua puluh dua tahun bersama-sama, ia sudah terbiasa ber-lo-gue dengan Adimas.
“Banget! Sana mandi. Bau, tahu!” balas Adimas. Tetapi tangannya cepat-cepat menjawil lengan piyama Kirana, begitu si gadis berjalan mendekati tembok. “Bandel banget kalau dibilangin!”
Lalu, diputarnya balik badan Kirana. Telunjuknya mengarah ke pintu kamarnya. “Pintunya sebelah sana, Nona. Nanti turun aja ke bawah, belok kiri lanjut ke ruang tamu dan bakal ketemu pintu keluar.”
“Nanti ketahuan Bunda dong, kalau aku nerobos masuk tempat kamu.”
Kirana sengaja mengedip-ngedipkan mata buat menggoda, sementara Adimas berpura-pura bergidik jijik melihatnya.
“Setelah jutaan kali ngelakuin, baru nyadar sekarang, hm?” omel Adimas. “Sana, pulang!” Untuk kedua kalinya, ia mendorong pelan punggung Kirana supaya cepat beranjak.
“Iya, iya, aku pulang.” Kirana melangkah ringan menuju pintu. Jiwanya serasa melayang-layang di udara. Harapan yang sempat layu kini telah mekar kembali. “Nggak jadi pindah, du du du…, Yale I’m in love! Du du du…”
Nyanyian ngaco itu, menyadarkan Adimas apa tujuan sebenarnya Kirana mau menikahinya. Bukan karena dirinya. Ditelannya ludah yang terasa pahit. Sebuah kenyataan pahit telah menamparnya. Kegetiran memenuhi relung hati, mengakibatkan senyumannya memudar. Idealnya, pernikahan adalah kebaikan yang harus disegerakan. Sebuah upaya menyempurnakan agama.
Ketika dilihatnya Kirana hampir menghilang di balik pintu kamar, Adimas spontan memanggilnya. “Ki, tunggu! ”
Langkah Kirana pun terhenti. Ia menoleh dan berbalik menatap sepasang mata tajam milik sahabat kecilnya dengan sorot penuh ingin tahu.
Adimas menarik napas panjang dengan batin mengulang istigfar, memohon ampunan atas napsu yang bersarang di atas niat sucinya mempersunting Kirana. Sedangkan Kirana jelas-jelas menyatakan niatnya demi meraih beasiswa universitas Yale, Amerika. Niat mereka berdua sudah jelas salah!
“Ki, kita nikah bukan karena friends with benefit. Tapi friends with bonafide. Demi menjaga kehormatan kita berdua. Niatkan ibadah dan belajar bersama. Aku janji akan mendukung kamu sampai kemanapun. Aku harap kamu pun begitu,“ ucap Adimas setulus hatinya.
Kirana mengangguk tanpa banyak pertimbangan. “Aku setuju. Ada lagi?”