Kehebohan melingkupi dua rumah bersebelahan di komplek Sariwangi, Bandung. Semenjak mami memberikan restu, hari itu juga dering telepon tidak pernah berhenti.
“Si Mami… Katanya sangsi, katanya mau mikir-mikir dulu seribu kali, eh malah jadi yang paling excited!” cibir Kirana seraya mendongak sepintas. Ia sedang memoleskan warna-warna dari tube ke atas kanvas yang sudah terwarnai delapan puluh persen itu. Tetapi fokusnya berkali-kali teralihkan karena mami terdengar bolak-balik menerima dan menelpon pihak-pihak yang berkaitan dalam rangka persiapan prosesi pernikahan.
Ah, percuma dilanjutin! keluhnya. Meletakkan kuasnya dengan pasrah ke atas palet. Lukisan beraliran ekspresionisme amat bergantung pada mood sang perupa. Kalau tidak menjaga perasaan dan konsentrasi, bisa-bisa makna lukisannya nanti melenceng dari konsep.
“Cuma akad doang, hebohnya kayak mau ngadain hajatan tujuh hari tujuh malam,“ Kirana menggerutu sebal. “Kalau kayak gini, gimana proyekku mau beres, Pi. Ngelukis di kamar, eh diusir. Katanya mau didekor. Di dapur, nggak dibolehin, katanya mau dipake bikin kue. Masa di balkon, masih digangguin juga. Alasannya biar sinyal telepon makin kenceng, Ck!”
Duduk bersila di samping puterinya, Pak Hambali alias papi Kirana bungkam seribu bahasa. Tak menyahut, tapi juga ogah beranjak meninggalkan Kirana. Keputusan besar si gadis kesayangan, tidak hanya menggegerkan, tapi juga menyulut perasaan tak rela bagi papi. Tak heran beliau bertekad membersamai Kirana selama mungkin sampai waktunya mereka berpisah.
“Apa aku numpang ngelukis di tempat Dimas aja?” Kirana berkomat-kamit pelan.
“Nggak!” Mami-papinya kompak berteriak.
Kirana terlonjak dan sibuk mengusap-usap dada karenanya. “Kaget aku!”
“Lagian kamu. Masa nyamperin tempat cowok. Aduh, mau dikemanin harga diri Mami!” Sebuah geplakan mendarat di kening mami, perbuatan tangannya sendiri. “Punya anak perawan kok gini banget, ya Allah!”
“Papi samperin juga si Dimas. Berani-beraninya dia bikin kamu kayak gini, Ki. Jangan-jangan selama ini dia main gendam!” Papi mengepalkan tangan ke udara. Melemparkan sengatan mata nyalang ke tembok yang membatasi balkon.
Namun, belum sempat papi beranjak, mami keburu memotong. “Hus, Papi!” tegur beliau kencang dengan bola mata membesar yang menjadi ciri khasnya tiap kali mengintimidasi. “Yang bermasalah tuh anak gadismu, bukan malah nyalahin Dimas!”
Papi langsung mengkeret, tak berkutik. Kembali duduk manis dan memasang tampang pasrah terhadap keadaan. Bukan main! Menyaksikan semua itu, Kirana nginyem sembari memasang wajah letih. Merasa miris sekaligus kasihan terhadap papinya yang kelewat bucin sampai-sampai rela jadi korban penjajahan istrinya itu.
Tiket keberangkatan orangtua Kirana ke Pontianak terpaksa diundur satu minggu lagi. Mami bersikeras, prosesi akad Kirana harus special, meskipun sederhana dan sangat mepet persiapan. Rencananya, kalau tidak ada aral melintang, perwakilan KUA berikut penghulu akan hadir besok malam, seusai salat Isya. Dan barulah keesokan harinya, akan digelar pengajian bersama ibu-ibu komplek.
“Bukannya ke salon, luluran atau apa gitu mau jadi penganten besok. Eh, ini malah mikirin lukisan. Kiki… Kiki… “ Mami mengeluarkan keluh kesahnya, yang hanya ditanggapi gumaman ‘hm…’ dari Kirana.
Dari balik tembok pembatas, seisi rumah Adimas memang tak seheboh kediaman Kirana. Meski begitu, bunda tak henti-hentinya berkreasi di dapur. Padahal catering dan tenda sudah siap, di-handle oleh mami. Tapi bunda kukuh mengatakan, harus ada cadangan makanan buat stock jaga-jaga. Memuliakan tamu itu kewajiban, begitu dalih beliau.
“Hh, Bunda… Bunda…” keluh Adimas, menatap tak berdaya pada bunda yang sedang serius menghias kue pengantin serba putih bertingkat tiga. Seharian ini, Adimas turut berkutat menjadi asisten bunda di dapur, membuat aneka penganan seperti kue dan dessert. Tapi khusus kue pengantin, bunda memintanya tak usah campur tangan.
Adimas menatap wedding cake bermotif marble di hadapannya itu. Krim berbentuk bunga dan macaroon beraneka warna sudah bertengger di setiap tingkatan. Ada sebuah lampu hiasan sangat cantik di bagian paling atas. Bunda sekarang tengah menambahkan detail krim berwarna emas di sekeliling krim bunga-bunga.
Besok, babak baru kehidupannya akan dimulai. Adimas tersenyum samar. Banyak orang bilang, merupakan hak seorang pengantin untuk berbahagia di hari pernikahan. Ia juga merasakan hal itu. Namun, tak dapat dipungkiri, ada kecemasan yang turut bercokol. Mengipasi kegamangan dalam hati.
Akankah ia menjadi imam yang baik?
Teringat percakapannya beberapa hari lalu di rumah Kirana. Ketika mami dan bunda setengah memaksa dirinya dan Kirana untuk berembuk di ruang keluarga. Pokoknya, tema dekorasi harus sudah diputuskan hari itu juga, sementara mami dan bunda pergi menyurvei pihak catering.
Lelaki itu mengembuskan napas berat. Kegamangannya menguat.
"Jadi poin-poin Friends With Bonafide kita apa aja, Dim?" tanya Kirana, membuat Adimas tersentak.
"Maksud kamu? Bukannya kita udah sepakat nggak ada istilah nikah kontrak?"
"Iya, bener. Tapi kalo pake kesepakatan pra nikah gitu, bukannya lebih baik? Aku janji akan nurutin apapun mau kamu. Mau pake jilbab, kek. Mau disuruh kayang, kek. Everything! Tapi kamu juga kudu janji dukung mimpi aku kuliah di luar negeri! Termasuk, kalo kita kepaksa harus LDR an." Kirana menyahut mantap.
"Makanya, aku juga pingin kita backstreetan dulu, Dim. Jangan ada temen-temen kampus yang tahu soal kita married sampe kita lulus nanti. Supaya nggak ribet aja. Kecuali kalo sama konco-konco kentelmu, bolehlah dibicarakan, " tambah Kirana bersemangat. Tidak ngeh kalau Adimas tengah menatapnya lekat. Ada kesedihan membias di bola matanya.
Ah...ya Rabb, Adimas speechless. Long Distance Relationship. Backstreet.
Akan seperti apa rumah tangga mereka nanti.
"Aku janji akan setia sama kamu seumur hidup aku, Dim! Pinky promise!" Kirana tiba-tiba mengacungkan jari kelingkingnya ke hadapan Adimas. Senyum manisnya mengudara, seiring binar di wajah cantiknya.
Adimas pun tertegun. Terbius pesonanya.
What should i do with you, Ki...sanubarinya merintih. Kirana benar-benar tak memberikan Adimas pilihan kecuali mengangguk dan membalas senyumannya, meski samar-samar.
***